Bisnis.com, DENPASAR – Sengketa pengelolaan lahan seluas 65 hektare milik Pemprov NTB di Gili Trawangan belum terselesaikan karena rumitnya masalah. Problem lahan yang terungkap setelah diambil alih kembali oleh Pemprov dari PT Gili Trawangan Indah (GTI) yang sebelumnya mengelola lahan tersebut.
Pemprov NTB selaku pemilik lahan sedang mencoba sejumlah skema pengelolaan yang bisa diterima oleh berbagai pihak seperti masyarakat lokal yang sudah menempati lahan tersebut sejak lama, investor asing yang juga sudah menyewa lahan dan Pemprov NTB selaku pemilik lahan.
Gubernur NTB, Zulkieflimansyah menjelaskan salah satu masalah rumit yang sedang diselesaikan adalah lahan skema penyewaan lahan oleh pengusaha atau investor asing. Karena setelah investor asing tahu lahan tersebut milik Pemprov NTB, mereka tidak mau lagi menyewa melalui perantara warga.
“Setelah pengusaha asing tahu itu tanah negara, sekarang mereka memilih untuk langsung bekerjasama dengan Pemda dan tidak mau lagi dengan warga lokal. Ini agak pelik karena penasehat hukum pengusaha asing merekomendasikan demikian. Kalau ini terjadi warga lokal yang selama ini menggarap dan menyewakan lahan jadi tidak dapat apa-apa,” jelas Zul dari keterangannya dikutip, Rabu (1/2/2023).
Zul menyebut Pemprov sedang mencoba skema agar pengusaha asing tetap menyewa kepada warga lokal yang sudah lama menggarap lahan tersebut, agar warga lokal mendapat manfaat ekonomi dan tidak merasa ditinggalkan. Untuk memastikan skema tersebut sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, Pemprov NTB akan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan hingga Polri.
Pemprov NTB bahkan menunda kerja sama di 11 titik yang sudah akan disewa secara langsung oleh pengusaha atau investor asing. “Untuk 11 titik yang sudah terlanjur pihak asing bekerjasama dengan Pemda akan kami pending atau tunda dulu sampai ada keputusan bersama dari KPK, Kepolisian dan Kejaksaan,” ujar Zul.
Baca Juga
Setelah diambil alih oleh Pemprov NTB, sejumlah masalah di atas lahan seluas 65 hektare tersebut mulai terungkap dan berbuntut panjang. Warga lokal yang sudah lama menempati lahan tersebut tanpa hak kepemilikan yang sah memanfaatkan lahan tersebut dengan membangun kos-kosan, homestay dan menyewakan lahan ke pihak asing. Sementara Pemprov NTB selaku pemilik lahan tidak mendapat retribusi yang seharusnya menjadi pendapatan asli daerah (PAD).
Masuknya warga lokal sebenarnya berawal dari wanprestasi yang dilakukan oleh PT GTI yang memiliki izin pengelolaan lahan sejak 1995 hingga 2026. Sejak diberikan kewenangan, PT GTI tidak melakukan pembangunan selama bertahun-tahun, sehingga warga lokal masuk dan memanfaatkan lahan tersebut. Pada September 2021 Menteri Investasi dan Pemprov NTB kemudian memutus kontrak PT GTI karena wanprestasi.