Bisnis.com, MATARAM - Polemik aset milik Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat di Gili Trawangan belum usai walaupun pemerintah dan masyarakat sudah menyepakati solusi atas pengelolaan lahan tersebut.
Ketika Pemprov NTB akan memasang papan nama atau plang yang menyatakan aset tersebut merupakan milik Pemprov pada Rabu (11/1/2023), sejumlah warga ramai-ramai melakukan aksi penolakan dan mencabut plang yang sudah dipasang oleh Satpol PP tersebut.
Polemik pencabutan plang ini pun viral dan menjadi perdebatan di media sosial, sebagian warga mendukung langkah Pemprov untuk menertibkan aset daerah tersebut.
Dalam surat nomor Satpol PP NTB nomor 300/11/POLPP/2023 disebutkan maksud pemasangan plang tersebut bagian dari penataan dan penertiban aset milik pemprov di Gili Trawangan dan menertibkan kegiatan warga di atas tersebut yang tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan.
Kepala Satpol PP NTB, Yusron Hadi, ikut menjawab polemik di media sosial, melalui akun resminya, Yusron menjawab jika pemasangan plank tersebut untuk memberi kepastian hukum soal kepemilikan aset yang pernah dikontrak oleh PT Gili Trawangan Indah (GTI).
"Perlu diluruskan, bahwa pemasangan plang kepemilikan aset dilakukan pada lahan milik pemprov atau ex kerja sama PT GTI gunanya untuk memberi kepastian hukum dan melindungi masyarakat yang telah bekerjasama pemanfaatan dengan pemprov," jelas Yusron dikutip dari akun resminya.
Baca Juga
Yusron menilai ada salah informasi yang diterima warga sehingga dikira Satpol PP akan melakukan penggusuran bangunan milik warga di atas lahan milik Pemprov tersebut.
"Jadi rasanya ada miskomunikasi ini bukan penggusuran dan sebagainya. Pemprov sangat terbuka memberi kesempatan kepada individu atau kelompok usaha yang sudah atau ingin turut memanfaatkan lahan tersebut melalui kesepakatan kerja sama dengan Pemprov," ujar Yusron.
Bisnis mencoba menghubungi Yusron untuk mengkonfirmasi lebih jauh soal polemik aset tersebut, tetapi hingga berita ini diturunkan konfirmasi Bisnis belum mendapatkan respons.
Seperti yang diberitakan Bisnis sebelumnya, polemik aset seluas 65 hektare milik Pemprov NTB ini merupakan polemik panjang yang belum terselesaikan. Aset tersebut awalnya dikontrak oleh PT GTI pada 1995 dengan jangka waktu yang panjang dan baru berakhir pada 2026.
Tetapi sejak dikontrak, PT GTI tidak kunjung merealisasikan investasinya atau wanprestasi. Karena lahan yang dikontrak tersebut tidak kunjung dibangun oleh PT GTI, warga atau pihak lain pun memanfaatkan lahan tersebut dengan membangun berbagai akomodasi, mulai dari homestay, hotel, kos, restoran hingga pertokoan.
Bahkan sebagian warga menyewakan kembali aset tersebut ke pihak lain, sehingga masalahnya semakin rumit. Gubernur NTB, Zulkieflimansyah mencoba menata kembali pengelolaan aset tersebut dengan melakukan pemutusan kontrak dengan PT GTI pada September 2021. Alasan pemutusan kontrak karena PT GTI selaku pemegang hak pengelolaan lahan telah melakukan wanprestasi.
Walaupun PT GTI telah keluar dari lahan tersebut, masalah belum kunjung usai. Pemprov NTB harus berhadapan dengan warga dan pihak yang sudah menguasai dan memanfaatkan aset tersebut selama belasan tahun.
Komunikasi intens coba dibangun hingga Pemprov NTB mendatangkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Menteri Investasi atau BKPM Bahlil Lahadahlia juga sempat turun ke Gili Trawangan untuk menyelesaikan polemik tersebut. Baik KPK maupun Kementerian meminta warga mengikuti arahan Pemprov dalam pengelolaan lahan tersebut.
Pemprov NTB mencoba merangkul semua warga yang sudah menguasai lahan tersebut dengan skema kerja sama pemanfaatan lahan antara Pemprov dengan masyarakat dan pengusaha yang sudah memanfaatkan lahan. Dengan kewajiban pihak yang memanfaatkan menyetorkan retribusi ke daerah sesuai aturan berlaku. Tetapi solusi ini belum menuntaskan seluruh masalah karena masih ada miss informasi dan komunikasi yang terjadi hingga saat ini.
Polemik yang berkepanjangan ini telah merugikan Pemprov NTB dan tidak memberikan kepastian terhadap investasi di Gili Trawangan. Padahal potensi pendapatan atau restribusi NTB di atas lahan tersebut mencapai Rp100 miliar per tahun.