Bisnis.com, GERUNG — Provinsi Nusa Tenggara Barat membutuhkan keterlibatan swasta melalui investasi untuk sektor pengolahan sampah terpadu agar dapat mewujudkan perekonomian hijau berkelanjutan.
Intervensi swasta tersebut sudah sangat mendesak karena jumlah timbunan sampah dari rumah tangga terus meningkat. Adapun kapasitas tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) yang dimiliki pemerintah daerah sangat terbatas. Salah satu contohnya yang terjadi di ibu kota Nusa Tenggara Barat (NTB), Mataram dan Kabupaten Lombok Barat.
Saat ini total sampah harian dari dua wilayah itu mencapai 300 ton per hari. Dari jumlah produksi sampah itu, baru sekitar 30 ton saja yang mampu diolah di TPST Kebon Kongok. Awalnya, pengolahan ini diproyeksikan dapat mengolah hingga 120 ton per hari. Hasil pengolahan sampah berupa refuse derived fuel (RDF) dan solid recovered fuel (SRF). RDF dan SRF merupakan biomassa bahan bakar untuk campuran batubara pada co-firing pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
“Dalam perjalanannya untuk SRF harus spesifik sampah organik termasuk ranting dan dahan tanaman, tetapi tidak bisa dilakukan. Karena itu sekarang kami belum maksimum mengolahnya dan masih manual,” ujar Kepala UPT TPA Kebon Kongok Radyus Ramli Hindarman, saat ditemui tim Jelajah Ekonomi Hijau NTB Bisnis Indonesia, Selasa (16/7/2024).
Keterbatasan itu disebabkan kemampuan alat di TPST yang mulai dioperasikan pada Agustus 2023 tersebut. Menurutnya, jika kapasitas pengolahannya optimal hingga 120 ton per hari dapat memberikan dampak lebih baik bagi pengolahan sampah di Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat. Dua wilayah ini menghasilkan sampah harian sangat banyak karena merupakan ibukota provinsi dan lokasi destinasi wisata.
Tantangannya, kata Ramli, butuh investasi alat pencacah sampah seperti dahan dan ranting agar bisa optimal kapasitasnya. Diakuinya, jika TPST Kebon Kongok mampu menyerap hingga 120 ton per hari dan mengolahnya menjadi biomassa, ekonomi sirkular di NTB akan menjadi lebih cepat terbentuk.
Baca Juga
“Karena TPST ini memberi dampak positif secara ekonomi bagi masyarakat sekitar. Hasil dari pengolahan juga terus diserap bahkan kami ditantang bisa tidak menghasilkan lebih banyak,” jelasnya.
Menurutnya, investor sudah banyak berdatangan ke TPST Kebon Kongok. Mereka berasal dari India, Singapura hingga China. Rerata semuanya memasarkan teknologi terbaru dengan harga jual hingga ratusan miliar. Ramli berujar untuk investasi yang dipaparkan investor, daerah belum mampu. Karena itu masih dibutuhkan investor yang memiliki ketersediaan untuk bekerja sama secara jangka panjang dan tidak terlalu memikirkan untung besar.
Konten ini merupakan bagian pemberitaan dari program Jelajah Ekonomi Hijau NTB, perjalanan jurnalistik Bisnis Indonesia Perwakilan Bali Nusra yang didukung oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia NTB, PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMMAN), PT ASDP Indonesia Ferry, Bank Syariah Indonesia (BSI), Bluebird Group, dan XL Axiata. |