Bisnis.com, DENPASAR – Walaupun realisasi investasi di Nusa Tenggara Barat pada 2022 melampaui target yang ditetapkan pemerintah dengan torehan mencapai Rp21,16 triliun, investor yang masuk ke NTB masih mengeluhkan sejumlah masalah yang menghambat investasi mereka.
Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) NTB mencatat mayoritas masalah yang dikeluhkan investor yakni lahan yang belum clear and clean sehingga menghambat investasi. Seperti yang dialami oleh PT Eco Solution Lombok (ESL), dan sejumlah perusahaan lainnya.
Kepala DPMPTSP NTB, Muhammad Rum, menjelaskan PT ESL mulai masuk ke NTB sejak 2013 untuk berinvestasi di kawasan pantai pink Lombok Timur, dengan target membangun kawasan wisata ramah lingkungan lengkap dengan resort. Walaupun sudah masuk sejak 9 tahun lalu, PT ESL belum bisa membangun optimal karena lahan yang menjadi lokasi investasi PT ESL masih dikuasai oleh masyarakat dan perusahaan lain.
Rum menjelaskan sejumlah upaya penyelesaian telah ditempuh agar PT ESL bisa merealisasikan investasinya yang ditargetkan mencapai US$1 miliar. “Masalah PT ESL ini berlangsung lama karena soal penguasaan lahan. Sejumlah tindakan telah dilakukan oleh tim yang kami bentuk,seperti membongkar bangunan liar, memindahkan kerbau warga dan membangun pos pengamanan. Sedangkan masalah penguasaan lahan yang dilakukan oleh perusahaan lain secara ilegal hingga saat ini masih proses penyelesaian,” jelas Rum dari keterangan resminya, Rabu (25/1/2023).
Selain masalah yang dialami oleh PT ESL, investor lainnya yakni PT Lombok Invest and Development atau Tampah Hill yang merupakan investor untuk membangun kawasan wisata di Desa Mekar Sari, Lombok Tengah dengan nilai investasi Rp147,5 miliar.
Rum menyebut, Tampah Hill kerap mendapat intimidasi dari oknum yang hendak melakukan pemerasan dengan meminta komisi penjualan tanah. Padahal proses jual beli tanah dilakukan melalui notaris tanpa melibatkan broker atau perantara. Masalah ini sudah diproses secara hukum di Polres Lombok Tengah.
Baca Juga
Selain soal lahan, Pemprov NTB juga telah memutus kontrak investor yang melakukan wanprestasi karena lalai melakukan sejumlah kewajibannya. Pemprov telah mencabut izin PT Balai Siput Internasional (PT BSI) karena terbukti menunggak pajak senilai Rp1,2 miliar, dan tidak membayar gaji karyawan senilai Rp800 juta.
“Tim pengendali investasi sudah berupaya menghubungi perusahaan tersebut tetapi sulit dihubungi, ketika diundang tidak datang, gaji karyawan dan pajak tidak mereka selesaikan akhirnya pemerintah mencabut izin PT BSI,” ujar Rum.