Bisnis.com, MATARAM – Kulit kerang mutiara yang selama ini banyak terbuang ternyata bisa menjadi barang berharga ketika diolah oleh pengrajin yang tepat. Itulah yang dilakukan oleh keluarga Efdalius Ruswandi di Lombok Barat, sejak 2001 hingga kini dilanjutkan oleh istri dan anaknya.
Keluarga ini merintis usaha kerajinan kulit kerang dengan membuat brand Lamops mulai 2001, berbekal skill dan pengalaman di bisnis kerajinan, keluarga Ruswandi pindah dari Jakarta ke Lombok agar lebih mudah mendapat bahan baku. Usaha pengolahan kulit kerang ini sebenarnya sudah dimulai sejak mereka di Jakarta, akan tetapi karena keterbatasan bahan baku di Ibukota, mereka kemudian pindah ke Lombok. Di Pulau seribu masjid mereka dengan mudah mendapatkan kulit kerang yang sudah tidak dipakai oleh nelayan mutiara, dengan harga murah kala itu, mereka sudah bisa mendapatkan banyak bahan baku.
Istri mendingan Ruswandi, Anita yang kini melanjutkan usaha tersebut menjelaskan awal mereka masuk ke Lombok belum banyak yang mengerti jika limbah mutiara tersebut bisa diolah, bahkan mereka ketika hendak membeli kulit kerang ke nelayan, seringkali diberi gratis.
“Kadang kami diberi gratis, kata mereka daripada dibuang ambil saja,” jelas Anita kepada Bisnis pada Jumat (21/08/2023).
Kulit kerang tersebut kemudian diolah menjadi barang serbaguna seperti piring kue, kotak kayu, tempat sabun dan berbagai aksesoris yang dijual menjadi souvenir atau oleh – oleh khas Lombok. Karena langkah dan menarik bagi wisatawan, penjualan pun terbilang menggembirakan, bahkan banyak yang order untuk dekor rumah karena nilai produknya yang tinggi. Menurut Anita penjualan saat itu banyak ke kota – kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya hingga ke Medan.
Setelah Lamops mulai dikenal dengan produknya, dan orderan semakin ramai, Lamops kemudian merekrut para pengrajin untuk terlibat dalam produksi, hingga saat ini total ada 6 pengrajin yang bekerja di Lamops, belum termasuk beberapa pengrajin perak yang ada di Lombok Tengah. Anita menjelaskan, yang unik dari pengolahan kerang ini mereka menggunakan teknik terawang, adopsi dari teknik urusi Jepang yang masih jarang digunakan oleh pengrajin Indonesia.
Baca Juga
Lamops pun aktif ikut berbagai pameran di tingkat nasional hingga internasional, produk mereka yang unik, dan mengusung nilai keberlanjutan lingkungan atau sustainability banyak pihak tertarik, bahkan Lamops pernah pameran di Jepang hingga Belanda.
Setelah fokus di produksi untuk home decor, Anita dan anaknya Riandika kemudian membuat brand baru yang bernama Conca. Brand ini fokus memproduksi aksesoris dari kulit kerang mutiara untuk pasar milenial dan gen Z. Aksesoris yang dibuat antara lain cincin, gelang, anting hingga kalung. Riandika menjelaskan karena produknya mengusung keberlanjutan lingkungan, banyak milenial dan gen z yang berminat untuk membeli, walaupun harganya diatas Rp500.000 hingga Rp1 juta.
“Selain itu produk kami banyak diminati karena artisan atau terbatas, ketika kami tawarkan secara digital banyak yang berminat. Jadi ada nilai keberlanjutan lingkungan itu sangat berpengaruh. Untuk Conca ini kami banyak mengirim ke Jakarta, Medan, Surabaya dan kota lainnya,” ujar Riandika.
Membangun usaha sejak 2001, Lamops mengalami ujian ketika pandemi datang pada 2020 dan mematikan industri ekonomi kreatif dan pariwisata, produksinya ketika pandemi sempat berhenti dan karyawan yang sudah bekerja belasan tahun sempat dirumahkan. Di tengah ujian tersebut, Kantor Perwakilan Bank Indonesia kemudian masuk untuk melakukan pembinaan.
Riandika menjelaskan BI NTB memberikan pelatihan dengan mendatangkan pakar – pakar industri kreatif sehingga para pengrajin di NTB mendapatkan wawasan baru. Riandikan menyebut masa pelatihan bersama Bank Indonesia menjadi waktu yang tepat untuk berbenah diri dan meningkatkan kualitas produk.
Selain itu, BI NTB juga memfasilitasi untuk pameran, dan memberi jalan untuk pasar baru bagi produk Lamops dan Conca. “Menjadi mitra BI NTB sangat bermanfaat sekali, apalagi di masa pandemi kami seperti diberikan masa jeda untuk belajar,” ujar Riandika.