Bisnis.com, DENPASAR - Ditariknya perizinan pembangunan akomodasi ke pemerintah pusat melalui Online Single Submission (OSS) justru menimbulkan masalah baru di daerah pariwisata seperti Bali dan NTB.
Setelah adanya OSS, para pengusaha atau investor berani langsung membangun akomodasi baik hotel, villa, dan restoran tanpa melengkapi izin terlebih dahulu di daerah. Di Bali misalnya, banyak pengurusan izin dilakukan setelah akomodasi terbangun. Hal ini membuat pemerintah daerah tidak bisa mengontrol pembangunan di wilayahnya.
Pemprov Bali dan pelaku pariwisata Bali sebenarnya sudah berulang kali menyuarakan agar kewenangan pembangunan akomodasi dikembalikan ke Pemerintah Daerah, agar pembangunan akomodasi di Bali tidak berlebihan.
Kepala Satpol PP Bali, I Nyoman Dewa Darmadi menjelaskan pangkal masalah banyaknya hotel, villa yang tidak memiliki izin seperti PBG SLF atau izin bangunan, kemudian melanggar kawasan suci di Bali seperti Pura, karena pemerintah pusat memberikan kemudahan, investor bisa mendapatkan izin melalui OSS tanpa harus menyertakan izin penyanding dari daerah. Akibatnya, dengan modal izin dari OSS, investor sudah berani membangun akomodasi.
"Karena pengusaha sudah mengantongi izin dari OSS, mereka langsung membangun, sehingga kami sebagai aparat sulit melakukan deteksi pelanggaran. Tau - tau sudah mengantongi izin, apalagi penanaman modal asing, yang kewenangannya di pemerintah pusat," jelas Darmadi kepada media dikutip Jumat (31/1/2024).
Darmadi menjelaskan, Pemprov Bali tidak pernah melakukan pembiaran terhadap pelanggaran pembangunan akomodasi, akan tetapi masifnya izin dari OSS membuat pembangunan akomodasi begitu mudah seperti tidak terkendali, dan baru diketahui oleh aparat setelah bangunan jadi atau viral di media sosial.
Menurutnya Satpol PP tetap melakukan tindakan jika menemukan adanya bangunan tanpa izin, apalagi melanggar kawasan pembangunan akan dihentikan.
Dari pantauan Bisnis selama ini, banyak kawasan baru yang sebelumnya merupakan persawahan, seperti di kawasan Kedungu, Nyanyi, di Kabupaten Tabanan sudah berubah menjadi kawasan villa, pertokoan. Termasuk juga di Ubud yang awalnya dikonsep menjadi pariwisata berbasis alam dengan akomodasi lokal yang disediakan warga, sudah jauh berubah dengan masuknya hotel - hotel besar.
Hal serupa terjadi juga di kawasan wisata Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat, pembangunan sebuah hotel besar melanggar sempadan pantai, akan tetapi pemerintah daerah Kabupaten Lombok Utara tidak bisa memberikan sanksi optimal karena Gili Trawangan statusnya kawasan konservasi, yang kewenangannya berada di Kementerian Lingkungan Hidup.
Kepala Bagian Pembangunan Setda Lombok Utara, Paturahman menjelaskan kewenangan Pemda Lombok Utara terbatas untuk memberikan sanksi jika terjadi pelanggaran sempadan pantai. Pemda hanya bisa memberikan teguran lisan dan tulisan, akan tetapi tidak diindahkan oleh investor karena tidak ada sanksi tegas.
"Gili Trawangan kewenangannya sebagian besar ada di Provinsi dan pemerintah pusat, ini yang membuat kami terbatas dalam melakukan penindakan, penertiban jika terjadi pelanggaran," ujar Paturahman.