Bisnis.com, DENPASAR – Asosiasi usaha SPA melakukan permohonan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan pasal 55 ayat 1 dan pasal 58 ayat 2 yang ada di Undang - Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD) yang memasukkan usaha SPA sebagai objek Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) 40%.
Dua asosiasi yang melakukan gugatan yakni Perkumpulan Pengusaha Husada Tirta Indonesia yang dulu bernama Asosiasi SPA Indonesia (ASPI) dan Perkumpulan Asosiasi Terapis SPA Indonesia yang dulu bernama Asosiasi SPA Terapis Indonesia (ASTI). Gugatan telah dimasukkan ke MK pada 3 Januari 2023.
Dalam pokok permohonannya, para pemohon meminta MK melakukan pengujian UU nomor 1 tahun 2022 tentang UU HKPD khususnya aturan tentang PBJT yang memasukkan SPA sebagai object pajak 40%, disamakan dengan industri hiburan seperti klub, karaoke.
Ketua Umum Perkumpulan SPA Terapis Indonesia atau, Mohammad Asyhadi menjelaskan alasan mendasar melakukan uji materi ke MK adalah tidak adanya kajian akademik dari masuknya usaha SPA sebagai object pajak PBJT. Selain itu Asosiasi SPA dan pengusaha yang terkait dengan SPA tidak dilibatkan sama sekali oleh pemerintah maupun DPRD dalam menyusun aturan.
“Kami tidak dilibatkan sama sekali oleh pemerintah maupun DPR, kemudian dari penelusuran kami, tidak ada kajian akademik yang menjadi landasan aturan ini. Itu yang menyebabkan kami mengambil langkah untuk ke MK,” jelas Asyahadi saat dihubungi Bisnis, Selasa (9/1/2023).
Munculnya aturan 40% pajak PBJT ini menurut Asyahadi akan mematikan usaha SPA di seluruh Indonesia, karena harga jasa SPA otomatis akan semakin tinggi sehingga akan mengurangi minat masyarakat melakukan terapi kesehatan di SPA. Selain itu, Asyahadi menjelaskan pelaku usaha SPA akan semakin terbebani dengan pajak yang besar, karena selain pajak PBJT 40%, pelaku usaha juga tetap membayar pajak PPN sebesar 11%, pajak penghasilan badan (PPh) 25%, PPh pribadi selaku pengusaha sebesar 5% - 35% tergantung penghasilan kena pajak atau PKP.
Baca Juga
Kemudian ada juga pajak bumi bangunan yang tergantung luas lahan dan bangunan tempat usaha, pajak pembangunan 1 atau PB 1 yang dikenakan 10% atas penjualan bila ada restoran, kemudian PPh 21 atas karyawan yang dipotong dari gaji karyawan, yang mana bersumber dari pendapatan perusahaan.
“Jadi kalau ditotal kami harus membayar pajak sebesar 67%, sementara gaji karyawan saja 20% kalau dihitung dari laba kotor,” ujar Asyhadi.
Kuasa Hukum para pemohon, Mohammad Ahmadi dan Muhammad Hidayat menjelaskan inti dari pengajuan uji materi UU HKPD adalah agar usaha SPA tidak dimasukkan dalam object pajak PBJT sesuai dengan yang termaktub dalam Pasal 55 ayat 1 dan pasal 55 ayat 2.
Menurut Ahmadi, SPA bukan kategori industri hiburan yang harus menanggung pajak hingga 40%, secara hukum usaha SPA atau mandi uap telah diatur dalam UU Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 8 Tahun 2014 tentang pelayanan kesehatan SPA.
“Dalam Permenkes No 8 Tahun 2014 sudah jelas disebutkan usaha SPA merupakan pelayanan kesehatan holistik yang memadukan berbagai jenis kesehatan tradisional dan modern yang menggunakan air. Jadi dalam hal ini sangat jelas mandi uap atau SPA ini adalah pelayanan kesehatan dan bukan termasuk kategori hiburan apalagi disamakan dengan diskotik dan karaoke, klub malam atau bar,” jelas Ahmadi di Denpasar, Selasa (9/1/2023).
Menurut kuasa hukum pemohon, pajak PBJT 40% terhadap tidak memenuhi asas keadilan, karena UU mensejajarkan pelaku usaha SPA dengan pelaku usaha jasa hiburan, padahal secara nyata merupakan dua usaha yang jauh berbeda. Selain itu aturan tersebut juga tidak memenuhi asas ketertiban dan kepastian hukum karena menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.