Bisnis.com, DENPASAR – Naiknya besaran pajak wellness SPA dari 15% menjadi 40% yang termuat dalam pasal 58 ayat 2 tentang pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) UU Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) dinilai memberatkan pelaku usaha karena kenaikan tersebut terjadi di tengah pemulihan pariwisata dan ekonomi Bali.
Pengamat Ekonomi Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Bali, Ida Bagus Raka Suardana menjelaskan para pelaku usaha SPA banyak yang kaget mereka masuk dalam kategori PBJT 40% di UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah. Padahal, industri ini tidak sebesar industri hiburan seperti club, karaoke. Kurangnya sosialisasi dan pelibatan pelaku usaha yang menjadi objek dalam UU tersebut dinilai membuat pengusaha kaget dan langsung protes dengan keluarnya beleid tersebut.
“Yang jelas ini memberatkan wellness SPA, kan baru satu tahun pariwisata bangkit di Bali, itu juga belum pulih sepenuhnya. Pajak 40% otomatis akan menaikkan harga, misalnya harga SPA awalnya Rp600.000, menjadi Rp1 juta, itu kan jauh sekali naiknya, karena pajaknya Rp400.000. Sementara pelaku usaha juga harus membayar gaji, dan biaya lainnya,” jelas Suardana, Senin (8/1/2023).
Menurut Suardana, Pemprov Bali harus mengakomodir keberatan para pelaku usaha dengan membawa aspirasi mereka ke pemerintah pusat, sehingga aturan tersebut bisa ditinjau ulang dan tidak diberlakukan dengan tergesa–gesa.
Suardana juga meminta Pemkab bijaksana dan mendengar aspirasi pelaku usaha yang belum pulih, sehingga tidak tergesa – gesa menerapkan kebijakan tersebut.
Kenaikan pajak PBJT tercantum dalam pasal 58 ayat 2 UU tentang hubungan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang menyebut khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 4O% dan paling tinggi 75%. Dalam UU tersebut akan diteruskan menjadi Peraturan Daerah (Perda) oleh Pemda tingkat Kabupaten dan Kota.
Baca Juga
Sebelumnya, PHRI juga mendesak pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan tersebut karena dinilai tidak masuk akal. Pajak 40% berpotensi mematikan usaha wellness SPA yang mulai tumbuh di Bali. Apalagi Bali sedang berusaha mengangkat potensi pariwisata wellness SPA di Bali, dengan menghadirkan SPA berbasis kearifan lokal Bali.