Bisnis.com, DENPASAR - Pemerintah Provinsi Bali menilai masuknya usaha spa dalam Pajak Berusaha dan Jasa Tertentu (PBJT) tidak tepat karena usaha wellness SPA bukan bagian usaha hiburan yang mewah akan tetapi bagian dari budaya Pulau Dewata yang sudah ada sejak lama.
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Tjok Bagus Pemayun menjelaskan usaha spa sudah dijalani oleh masyarakat Bali sejak lama, dan telah menjadi bagian dari pariwisata Bali karena diminati oleh wisatawan nusantara maupun mancanegara.
"Kami menginginkan spa ini tidak disamakan dengan hiburan, apalagi spa itu bukan hiburan, akan tetapi bagian dari budaya Bali. Jika dimasukkan ke dalam hiburan berarti para terapis logikanya sebagai penghibur, padahal di Bali kan berbasis budaya. Makanya ada balinese spa tradisional yang terkenal bahkan terapis kami sampai ke luar negeri," jelas Tjok Bagus, Selasa (9/1/2023).
Pemprov Bali juga menerima aduan dari para pelaku usaha spa yang keberatan dengan pajak 40%, Tjok Bagus menyebut akan menindaklanjuti aduan tersebut dengan melakukan kajian komprehensif terkait usaha spa di Bali sehingga pemerintah pusat memiliki pertimbangan dan landasan yang kuat untuk meninjau ulang UU Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) yang terkait pajak PBJT.
Menurut data Pemprov, jumlah pelaku usaha spa di Bali mencapai 963 pelaku usaha, dari hampir seribu pelaku usaha tersebut, sebagian pelaku usaha spa tradisional, bukan pelaku usaha besar seperti usaha hiburan. Jika pemberlakuan pajak PBJT dipukul rata, dikhawatirkan akan berdampak ke lapangan kerja, karena jika dimasukkan pajak 40%, maka harga jasa spa akan naik tinggi dan dinilai memberatkan konsumen.
Selain itu, pajak PBJT 40%, bertolak belakang dengan target pemerintah yang membebani Bali dengan target 7 juta wisatawan, adanya spa tradisional dan hiburan juga salah satu alasan wisatawan berkunjung ke Pulau Dewata.