Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Asosiasi Ritel Minta Pemprov Bali Tiru Negara Maju Atasi Sampah Plastik

Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo) meminta Pemerintah Provinsi Bali mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan sebelum membuat sebuah aturan.
Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo) meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan sebelum membuat sebuah aturan tentang sampah plastik./ Freepik
Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo) meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan sebelum membuat sebuah aturan tentang sampah plastik./ Freepik

Bisnis.com, DENPASAR - Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo) meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan sebelum membuat sebuah aturan tentang sampah plastik.

Koordinator Wilayah Bali Nusra DPP Aprindo, A.A. Ngurah Agung Agra Putra, meminta Pemprov Bali tidak mengambil jalan pintas untuk menutupi ketidakmampuannya menyelesaikan suatu masalah dan selalu menyalahkan objek atau pelaku usaha atas permasalahan yang terjadi. 

Menurut Agra, larangan memproduksi dan menjual minuman kemasan plastik di bawah 1 liter mungkin dapat langsung mengurangi jumlah sampah plastik di Bali.

Selain itu, juvga bisa mendorong perubahan kebiasaan masyarakat untuk menggunakan botol isi ulang untuk menekan sampah plastik.

"Akan tetapi tanpa sistem pengelolaan sampah yang baik, larangan ini hanya memindahkan masalah ke bentuk lain misalnya peningkatan konsumsi plastik dalam bentuk lain. Di sisi lain pemerintah tidak mau melakukan investasi dalam pengolahan sampah dengan menyiapkan infrastruktur, fasilitas, dan sistem pengelolaan sampah. Yang mana ini justru merupakan solusi jangka panjang," kata Agra saat dikonfirmasi Bisnis, Rabu (9/4/2025).

Menurutnya, Pemprov Bali sebaiknya belajar meniru negara maju seperti Singapura, Jepang, dan Swedia yang telah membangun sistem pengelolaan sampah canggih.

Singapura punya waste to energy yakni sampah yang diubah menjadi energi listrik dan sistem daur ulang ketat.

Kemudian Jepang dengan sistem pemisahan sampah kompleks dengan aturan ketat bagi warga. Ada juga Swedia yang hampir semua sampah diolah kembali melalui daur ulang atau pembangkit listrik tenaga sampah.

"Jika hanya melarang air kemasan kecil tanpa infrastruktur daur ulang yang memadai, sampah plastik dari sumber lain masih tetap menjadi masalah. Sebaliknya, jika Bali berinvestasi dalam pengolahan sampah modern tanpa mengurangi konsumsi plastik, volume sampah tetap tinggi dan beban pengolahan semakin besar," ujar Agra.

Kombinasi pembatasan plastik sekali pakai dengan investasi dalam sistem pengolahan sampah dan edukasi masyarakat lebih bagus dilakukan pemerintah daripada melarang produksi air kemasan.

Sebab hal itu bisa memengaruhi iklim perekonomian Bali yang sangat bergantung pada sektor pariwisata.

Agra menjelaskan kontribusi penjualan air kemasan 1 L ke atas hanya 20%, sementara 80% dikontribusikan oleh air kemasan di bawah 1 liter yang banyak dijual oleh usaha ritel di Bali.

Bali bisa meniru Swedia dan Jepang dengan membangun sistem insentif daur ulang, misalnya deposit refund system. Masyarakat bisa mendapatkan uang kembali ketika mengembalikan botol plastik untuk didaur ulang.

Selain itu incinerator atau pembakaran sampah bisa menjadi salah satu infrastruktur pengolahan sampah yang dibutuhkan, tetapi memang ada beberapa pertimbangan penting sebelum menggunakannya.

Keuntungan incinerator dalam pengolahan sampah yakni mengurangi volume sampah, pembakaran dapat mengurangi hingga 90% volume sampah, sehingga mengurangi kebutuhan lahan untuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Kemudian menghasilkan energi (Waste-to-Energy) karena beberapa incinerator modern dapat mengubah panas dari pembakaran menjadi listrik atau uap untuk pemanas.

Di sisi lain memang ada tantangan juga dari penggunaan incinerator yakni emisi polusi udara. Jika tidak dilengkapi dengan teknologi penyaring yang baik, incinerator bisa menghasilkan polutan berbahaya seperti dioksin dan furan.

Biaya incinerator juga tinggi, sehingga pembangunan dan operasional incinerator modern membutuhkan investasi besar. 

"Terkait ini pemerintah harus mereview ulang penggunaan APBD untuk hal-hal yang prioritas," kata Agra.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper

Terpopuler