Bisnis.com, DENPASAR – Pemerintah Provinsi Bali menegaskan pembangunan terminal LNG di Sanur bertujuan untuk mewujudkan kemandirian sumber energi listrik Bali yang saat ini masih bergantung dengan pulau Jawa.
Merespons penolakan desa adat Intaran, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ida Bagus Ngurah Arda, menjelaskan Bali membutuhkan kemandirian energi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi listrik yang tinggi, terutama pemakaian listrik di industri pariwisata dan rumah tangga.
"Saat ini sumber energi Bali masih di suplai oleh jawa sejumlah 340 MW. Oleh sebab itu kami memilih LNG, karena ini bagian dari transformasi ke energi bersih dari sumber energi konvensional," jelas Arda kepada Bisnis, Selasa (21/6/2022).
Pembangkit listrik yang ada di Bali saat ini dinilai belum bisa memenuhi kebutuhan listrik Bali yang mencapai 900 Mw pada kondisi normal.
Menurutnya beban puncak Bali pernah 900 Mw, padahal sumber energi dari pembangkit yang ada di Bali kurang dari itu. Pembangkit di Bali ada di Celukan Bawang, Buleleng sejumlah 380 Mw, kemudian di Pesanggaran 100 Mw, itu hasil migrasi tahap pertama dari Jawa.
Rencananya ada migrasi tahap kedua 100 Mw juga, itu saja yang di Bali, selain itu pasokan dari Jawa sejumlah 340 Mw. Oleh sebab itu kami ingin membangun terminal LNG untuk mewujudkan kemandirian energi Bali dengan energi bersih, dan nantinya pasokan yang dari Jawa bisa jadi energi cadangan.
Baca Juga
Selain membangun terminal LNG, Pemprov Bali juga sudah memulai pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di kawasan tol Bali Mandara dengan kapasitas 40 Kwp. PLTS tersebut nantinya akan memperkuat sistem kelistrikan Bali khususnya saat event G20 berlangsung.
Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Bali, I Made Teja, menjelaskan dengan pembangunan terminal LNG tidak akan merusak kawasan mangrove yang ada di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, karena luas Kawasan yang digunakan hanya 3 hektare.
“Pembangunan terminal LNG ini sangat vital, untuk memenuhi kebutuhan energi Bali. Kami yang menjaga Kawasan mangrove di Tahura Ngurah Rai menjamin tidak ada perusakan mangrove, pemotongan pohon saja tidak boleh, karena Kawasan yang digunakan hanya tiga hektare dan itu memanfaatkan lahan kosong yang ada di Tahura,” jela Teja kepada Bisnis.
Teja menjelaskan pembangunan terminal LNG sudah mendapat rekomendasi pemerintah pusat, dan saat ini sedang dalam tahap sosialisasi di masyarakat. “Nanti dalam tahap sosialisasi akan dijelaskan kepada publik, pembangunan terminal LNG seperti apa, Amdalnya kemudian teknologi apa yang digunakan,” kata dia.
Sementara itu, Manager Komunikasi PLN Bali, I Made Arya enggan memberi penjelasan soal penolakan warga terhadap pembangunan terminal LNG di Sanur, padahal pembangunan terminal LNG tersebut dilakukan oleh anak perusahaan PLN, PT PLN Gas & Geothermal (PLNGG) bersama Perusahaan Daerah PT Dewata Energi Bersih (DEB).
“Maaf, terkait hal tersebut bukan domain PLN,” jelas Arya saat dikonfirmasi Bisnis.
Pembangunan terminal LNG Sanur, mendapat penolakan dari desa adat Intaran, desa adat menilai pembangunan LNG di kawasan mangrove akan mengancam keberadaan mangrove di kawasan Tahura Ngurah Rai. desa adat menilai membangun terminal LNG di kawasan mangrove tidak tepat dan tidak sesuai dengan visi Presiden Jokowi yang menargetkan Bali memiliki 600.000 hektare kawasan mangrove. (C211)