Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekspor Kakao Fermentasi dari Bali Tak Sekuat Produksi Petani

Peningkatan produksi kakao Jembrana, Bali yang terjadi selama 2020 tidak dibarengi dengan tingginya ekspor karena pasar global yang terhantam pandemi Covid-19.
Ilustrasi.
Ilustrasi.

Bisnis.com, DENPASAR — Peningkatan produksi kakao Jembrana, Bali yang terjadi selama 2020 tidak dibarengi dengan tingginya ekspor karena pasar global yang terhantam pandemi Covid-19.

Direktur Kalimajari I Gusti Agung Ayu Widiastuti mengatakan rata-rata produksi petani anggota koperasi mencapai 100 hingga 125 ton per tahun. Selama 2020, produksi petani kakao di Jembarana Bali di bawah binaan koperasi tersebut dinilai mengalami peningkatan hampir 25 persen secara tahunan (year on year/yoy).

Peningkatan produksi ternyata dihadapkan dengan rendahnya serapan kakao untuk diolah menjadi bijih fermentasi. Terlebih ketika sejumlah negara improtir menunda sementara pembelian kakao fermentasi hasil olahan yang dilakukan koperasi.

Setidaknya, mulai pandemi melanda Indonesia, yakni pada Maret 2020, Kalimajari sebagai koperasi yang menaungi dan mengolah kakao petani mendapatkan pemberitahuan penundaaan pengiriman ke Prancis sebanyak 12,5 ton. Penundaan dari Prancis kemudian disusul Belgia dan sejumlah buyer lokal atau nasional.

"Kami selama masa awal pandemi sudah mendapatkan tiga pembatalan purchase order, kami terus berpikir bagaimana caranya jamin bahwa petani akan lakukan proses penjualan ke koperasi dan koperasi komitmen untuk beli, Itu kami berjuang untuk dapat PO [purchase order] lagi," katanya kepada Bisnis, Kamis (12/4/2021).

Menurutnya, koperasi tidak bisa berhenti melakukan pembelian kepada petani. Pasalnya, hanya koperasi yang mampu mengolah bijih asalan kakao menjadi kakao fermentasi dengan nilai tambah hampir dua kali lipatnya.

Apalagi, Bali jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, volume produksi kakao sangat kecil. Volume produksi kakao dari Bali kalah jauh daibandingkan Sulawesi dan Sumatera. Bali pun tidak masuk dalam 10 besar produsen kakao di Indonesia.

Hanya, Bali kewat koperasi Kalimajari mengambil peluang dengan menglah bijih asalan menjadi kakao fermentasi yang memiliki nilai jual lebih tinggi. Di Pasar lokal, bijih asalan kakao dijual senilai Rp22.000 hingga Rp25.000 per kilogram, sedangkan koperasi membeli kakao petani di harga RP40.000 per kilogram.

Pada akhirnya, di tengah kesulitan ekonomi saat pandemi berlangsung, Kalimajari berhasil mendapatkan pembelian dari buyer lama yakni Perancis dan Belanda. Bahkan, juga ada purchase order baru dari Jepang dan sejumlah buyer lokal.

Secara total, selama 2020, serapan kakao petani yang dilakukan Kalimajari untuk diolah dan diekspor mencapai 47 ton. Jumlahnya, naik dari serapan 2019 yang sebesar 44 ton.

"2020 di tengah pandemi kami bisa melakukan proses penjualan ekspor maupun lokal sebanyak 47 ton, meskipun itu lebih rendah dari ekspektasi kami," sebutnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper