Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Potensi Listrik Tenaga Surya di Bali Lebih Besar dari Rencana Daerah

IESR mengkalkulasi potensi tenaga surya untuk pembangkita di Bali mencapai 26,4 GWp dengan produksi teknis 40,5 terawatt hour per tahun (TWh/y).
Ilustrasi - Penampakan udara Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Sebira 400 kWp./Dok. PLN Enjiniring
Ilustrasi - Penampakan udara Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Sebira 400 kWp./Dok. PLN Enjiniring

Bisnis.com, DENPASAR - Institute for Essential Services Reform (IESR) menghitung potensi pembangkit listrik energi surya di Bali mencapai 26,4 gigawatt peak (GWp) atau hampir 24 kali lebih tinggi dari rencana umum energi daerah (RUED) Pulau Dewata.

Berdasarkan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang tertuang dalam peraturan daerah (perda) Bali No. 9/2020, sumber energi primer yang berasal dari energi baru terbarukan (EBT) pada 2015 adalah sebesar 11,15 persen. Pada 2050, porsi EBT dari bauran energi primer di Bali diproyeksi sebesar 20,1 persen.

Lebih terperinci, potensi EBT yang tertuang dalam perda tersebut meliputi panas bumi 262 MW, mini atau mikro hidro 15 MW, bioenergi 191,6 MW, surya 1.254 MW, angin 1.019 MW, air 208 MW, dan laut 320 MW.

Sementara itu, IESR mengkalkulasi potensi tenaga surya untuk pembangkita di Bali mencapai 26,4 GWp dengan produksi teknis 40,5 terawatt hour per tahun (TWh/y). Potensi pembangkit surya tersebut terdiri atas pemasangan di pemukiman 19,8 GWp, belukar 5,6 GWp, savana  0,1 GWp, dan tanah terbuka 0,9 GWp.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan pemanfaatan pembangkit surya di Bali dapat dimulai dari semua bangunan pemerintah dan perhotelan. Jika semua kantor pemerintah memasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap, potensi listrik yang dihasilkan mencapai 7,96 MWp.

Sementara itu, jika 21 hotel di Kuta memasang PLTS Atap potensi listrik yang mampu dihasilkan mencapai 6,7 MW dan 19,2 MW untuk 21 hotel di Nusa Dua, Bali.

Apalagi, Gubernur telah merilis Pergub 45/2019 tentang Bali Energi Bersih. Beleid tersebut mengatur bangunan pemerintah puat maupun daerah untuk memasang PLTS Atap paling sediit 20 persen dari luasan atap.

Selain itu, bangunan komersial maupun rumah tangga dengan luas lantai lebih dari 500 meter persegi juga memasang PLTS Atap paling sedikit 20 persen dari luasan atap atau kapasitas listrik terpasang. Beleid tersebut juga mencantumkan adanya pemberian tarif listrik khusus atau tarif hijau bagi pengguna listrik yang memanfaatkan EBT.

Menurutnya, jika potensi 26,4 GWp PLTS atap tersebut mampu dimanfaatkan dengan optimal, Pulau Dewata sepenuhnya bisa mandiri energi. Namun, diakuinya ada sejumlah pertimbangan teknis yang menjadikan Bali tidak bisa sepenuhnya mengandalkan PLTS Atap.

Pasalnya, PLTS atap memiliki sifat intermiten atau tidak stabil sehingga listrik yang dihasilkan hanya pada saat-saat tertentu. Jika terjadi hujan maupun mendung, PLTS Atap tidak akan berfungsi maksimal untuk menghasilkan listrik.

Meskipun demikian, saat ini dinilai sudah ada solusi untuk mengatasi sifat intermiten dari PLTS, yakni lewat penyimpanan energi berupa baterai atau pumped hydro energy storage.

"Kami melihat paling tidak pemanfaatan EBT tadi bagi Bali yang mengandalkan tourism bisa mendorong kehadiran next tourism yang sadar lingkungan," katanya, Jumat (5/3/2021).

Kepala CORE Udayana Ida Ayu Dwi Giriantari menilai pengembangan EBT di Bali saat ini cukup berpolemik. Salah satunya contohnya pemanfaatan panas bumi sebagai sumber energi pembangkitan yang banyak menuai protes. Begitu juga dengan pemanfaatan air untuk pembangkitan yang saat ini lebih dominan untuk digunakan dalam pemenuhan air baku masyarakat.

Ida Ayu pun menilai Bali paling mungkin mengembangkan pembangkit listrik dari energi surya. Namun, karena mahalnya lahan di Bali, pemanfaatan energi surya untuk pembangkitan pun bisa ditempuh lewat PLTS atap.

"Menurut saya, yang memulai dulu [pemasangan PLTS Atap] adalah perhotelan, baru merambah ke bisnis di luar pariwisata, kemudian pemukiman masyarakat umum," sebutnya.

Hanya pada 2020, ketika PLTS Atap akan dikembangkan masif di Bali, perekonomian tiba-tiba terbentur pandem Covid-19. Meskipun demikian, pemasangan PLTS atap tetap dilakukan sejumlah pihak terutama berasal dari kalangan ekspatriat yang memiliki bangunan di Bali.

"Mereka [kaum ekspatriat] lebih aware dan mereka lebih banyak pasang PLTS Atap, tetapi kami belum ada data psti, saat ini masih bisa dikatrakan pemasangan PLTS ATap banyak dilakukan kaum ekspatriat dan perusahaan asing," jelasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper