Bisnis.com, DENPASAR — PLN Bali optimistis bauran energi baru terbarukan atau EBT pada 2025 akan mencapai 25 persen dari total penggunaan energi di Pulau Dewata karena masuknya sejumlah rencana pembangunan pembangkit listrik energi surya serta masifnya program solar panel atap atau rooftop.
Manajer Senior PLN Bali Putu Putrawan mengatakan akan ada pembangunan dua pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sebesar 50 MW di daerah Kubu, Kabupaten Karangasem dan 50 MW di Kabupaten Jembrana. Dia menuturkan konsorsium yang dipimpin oleh salah satu perusahaan energi nasional sudah memenangkan tender untuk penyediaan PLTS di dua wilayah tersebut.
“Tendernya sudah dilelang disiapkan 2023. Harganya murah, kalau tidak salah sekitar US$5,8 sen per kwh di Kubu dan di Jembrana sekitar US$6,2 sen per kwh. Itu direncanakan masuk 2023 dan 2025,” ujarnya, Jumat (25/9/2020).
Selain dua pengembangan PLTS, Bali saat ini sudah memiliki Pergub No.45/2020 tentang Bali Energi Bersih. Di dalam beleid tersebut tercantum kewajiban bagi pengembangan bangunan hijau yang meliputi bangunan pemerintah pusat dan pemerintah daerah di daerah memasang sistem PLTS Atap atau pemanfaatan teknologi surya lainnya paling sedikit 20 persen dari kapasitas listrik terpasang atau luas atap. Selain itu meliputi juga bangunan komersial, industri, sosial, dan rumah tangga dengan luas lantai lebih dari 500 meter persegi memasang sistem PLTS Atap dan/atau pemanfaatan teknologi surya lainnya paling sedikit 20% dari kapasitas listrik terpasang atau luas atap.
Mengutip data dari hasil kajian Peta Jalan Pengembangan PLTS Atap: Menuju Bali Mandiri Energi yang dilakukan oleh Center for Community Based Renewable Energy (CORE) Universitas Udayana dan Greenpeace pada 2019, wilayah Bali selatan sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai “lahan” PLTS atap. Di wilayah selatan yang meliputi Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Tabanan dan Gianyar terdapat lima kelompok pemangku kepentingan pengembangan PLTS.
Pertama, pemerintah yang terdiri dari pemprov dan pemda Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan yang dikenal dengan istilah Sarbagita. Kedua, institusi pendidikan yang terdiri dari perguruan tinggi, ketiga, penyedia tenaga listrik yaitu PT PLN (Persero) UID Bali, keempat, industri pariwisata yaitu Indonesia Tourist Development Corporation (ITDC) Bali yang mengelola kawasan wisata Nusa Dua. Kelima, masyarakat Desa Adat Bali di wilayah Sarbagita.
Potensi atap bangunan pemangku kepentingan di wilayah Sarbagita dan PLN Bali adalah sekitar 1.127.187 meter persegi. Dengan teknologi PLTS Atap saat ini akan diperoleh kapasitas daya berkisar antara 49.504 – 129.778 kWp melalui skenario pemanfaatan luas atap antara 25 persen - 60 persen. Angka ini menunjukkan bahwa Bali memiliki potensi yang besar untuk memenuhi target PLTS 108 MW pada tahun 2025. Angka ini baru mengambil sebagian dari komponen masyarakat Bali sementara rumah tangga yang jumlahnya sangat besar dan pemangku kepentingan di luar wilayah Sarbagita juga memiliki potensi yang besar belum diperhitungkan dalam kajian ini.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sah, B.P. dan Wijayatunga, P. (2017) dalam Asian Development Bank Sustainable Environment Working Paper Series, Bali memiliki iradiasi solar berkisar 1,490 hingga 1,776 kWh/m2/tahun, atau melebihi standar yang diberlakukan di Eropa untuk kelayakan proyek energi surya, yaitu 900 kWh/m2/tahun. Dengan menggunakan sistem permodelan pemetaan, dapat diketahui bahwa total potensi energi surya di Provinsi Bali dapat mencapai 113,436.5 GWh per tahun, di mana jauh melebihi jumlah permintaan energi penduduknya pada tahun 2027, yaitu 10,014 GWh per tahun.
Putrawan mengakui selain pembangkit, PLTS atap atau rooftop memiliki potensi sangat besar di Bali. Bahkan pihaknya memprediksi masuknya energi dari PLTS atap bisa mencapai 236 MW pada 2025. Besaran daya itu berasal dari PLTS yang dibangun investor ditambah dengan rooftop yang secara bertahap mulai disosialisasikan.
“Karena beban puncak itu kami prediksi 796 MW, dan 20 persen dari itu EBT. 100 MW lah dari PLTS, sisanya dari PLTS atap. Itu bagian dari energi bersih yang hanya bisa dipakai siang hari,” jelasnya.
Khusus untuk PLTS atap, diprediksi ada sekitar 8.000 pelanggan yang berpotensi jika dihitung berdasarkan tingkat konsumsi pada saat ini sekitar 33 Kva per satu tempat. Dia menegaskan penggunaa daya sebesar itu sebagian besar adalah hotel bintang tiga serta mall yang memiliki atas lebih dari 500 meter persegi.
Manajer Koperasi Amogasiddhi Ida Ayu Maharatni mengatakan potensi pengguna sollar panel atap di Bali sangat besar. Mereka saat ini belum memasang teknologi ini karena masalah besarnya investasi yang harus dikeluarkan pada tahap awal. Dia menyakini apabila ada aturan yang memudahkan pembiayaan, jumlah penggunanya semakin banyak.
Koperasi Amogasiddhi pada saat ini melayani pembiayaan kredit solar panel untuk skala rumah tangga yang diperuntukkan khusus bagi anggotanya. Ayu Maharatni mengatakan dari ribuan anggota koperasinya, pada saat ini baru 12 orang yang sudah mulai memanfaatkan. Dengan adanya pergub, pihaknya yakin jumlah pelanggan akan bertambah.
“Sebenarnya tahun ini pun kami yakin akan naik penggunanya, tapi karena ada Covid-19 sepertinya banyak anggota yang memilih mengalokasikan dananya ke pos lebih penting. Kalau kembali normal kami yakin akan meningkat lagi,” tuturnya saat dihubungi Bisnis.
Mengacu kajian Core Unud dan Greenpeace, skema pembiayaan menjadi unsur penting untuk mewujudkan bauran energi terbarukan. Ini dikarenakan dari hasil survei diketahui bahwa rerata investasi yang dibutuhkan untuk 10 kwh kisaran Rp177 juta. Dalam paparannya di hasil kajian, Ketua CORE Unud, Ida Ayu Dwi Giriantari mengatakan skema pembiayaan tidak hanya menjadi satu-satunya tantangan yang harus dihadapi.
Dia menegaskan, tantangan pertama, minimnya sosialisasi yang dilakukan kepada masyarakat tentang PLTS sehingga mereka belum sadar jika PLTSA tersebut memiliki potensi begitu besar yang bisa dimanfaatkan. Kedua belum adanya kebijakan khusus dari pemerintah untuk mendorong masyarakat dalam penggunaan PLTSA ini kedepannya.Ketiga, belum ketemunya kesepakatan bersama antara masyarakat pengguna PLTSA dengan PLN sebagai regulator resmi suplier listrik untuk masyarakat.
Kadisnaker dan ESDM Bali Ida Bagus Ngurah Arda menyatakan pihaknya sedang menyiapkan peraturan daerah untuk memperkuat legalitas program EBT di Pulau Dewata. Saat ini perdanya sudah ada di biro hukum dan sudah mendapatkan nomor registrasinya. Dia mengakui aturan mengenai energi bersih mendapatkan tanggapan positif dari masyarakat.
“Untuk Bali sebagai destinasi pariwisata sangat baik sekali jika terus dikembangkan. Ke depan, proyek besar EBT di Bali berupa mobil listrik, karena selama ini mobil pada umumnya menggunakan BBM yang menyebabkan polusi udara, sehingga diarahkan menggunakan EBT ini,” tuturnya.