Bisnis.com, DENPASAR – Pemerintah Provinsi Bali mendorong pengusaha wellness spa untuk mengajukan insentif fiskal kepada pemerintah daerah sebagai solusi sementara atas polemik pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) 40% yang dinilai memberatkan usaha spa di Bali.
PJ Gubernur Bali, Sang Made Mahendra Jaya mengaku memahami keresahan para pengusaha hiburan dan spa atas berlakunya PBJT 40% yang dinilai memberatkan para pelaku usaha, khususnya spa yang banyak dijadikan usaha atau profesi oleh warga Bali.
Mahendra juga menghormati langkah pengusaha hiburan dan spa yang mengajukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU Nomor 1 Tahun 2022 yang mengatur Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD), yang didalamnya memuat PBJT hiburan dan spa sebesar 40%.
Mahendra menawarkan opsi kepada pengusaha untuk mengajukan insentif fiskal kepada Pemprov maupun Pemkab agar pengusaha mendapat keringanan fiskal. Menurutnya Pemda bisa memberikan kebijakan insentif fiskal kepada usaha yang banyak menyerap tenaga kerja dan meningkatkan investasi di Bali.
Insentif fiskal ini diatur dalam pasal 101 UU Nomor 1 Tahun 2022 yang menyebutkan bahwa gubernur/bupati/walikota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi. “Judicial review jalan, pengajuan insentif fiskal ini juga perlu ditempuh. Nanti saya akan mendorong pemerintah kabupaten/kota yang memiliki kewenangan untuk itu,” kata Mahendra.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati menjelaskan pajak 40% tidak tepat bagi usaha wellness spa. Sebab menurutnya, spa yang berkembang di Bali memiliki kekhasan dan telah diakui WTO sebagai usaha di bidang kesehatan. Usaha spa yang bekembang di Pulau Dewata memiliki keunikan karena dalam pengembangannya juga membawa misi penggalian dan pengembangan potensi lokal ‘boreh Bali’.
Baca Juga
Lapangan usaha ini juga banyak menyerap tenaga kerja dan BSWA Bali telah beranggotakan 12.000 terapis. Bahkan saat berkunjung ke Polandia, Cok Ace memperoleh informasi bahwa 337 terapis Bali bekerja di negeri itu. Atas dasar itu, pihaknya menyampaikan keberatan kalau usaha Spa di Bali dikenakan pajak hiburan 40-75 persen. PHRI dan pelaku usaha SPA Bali juga telah menempuh upaya mengajukan judicial review atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022.
“Judicial review telah kami ajukan 5 Januari dan tercatat telah terdaftar 22 pemohon, termasuk pengusaha dari luar Bali,” kata Cok Ace.
Senada dengan Cok Ace, Ketua PHRI Kabupaten Badung, I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya juga menjelaskan pajak PBJT merupakan langkah kontraproduktif dari pemerintah karena berpotensi membuat wisatawan asing sekaligus investor hiburan kabur dari Bali.
Menurutnya pajak tersebut akan menyulitkan Bali bersaing dengan negara - negara lain seperti Thailand dan Uni Emirat Arab yang justru menurunkan pajak hiburan.
Tidak hanya itu, wisatawan nusantara pun berpotensi hengkang dari Bali dan memilih berwisata ke Thailand yang biaya perjalanannya lebih murah. Ditambah pajak hiburan 40%, akan berpotensi membuat Bali sepi, karena industri hiburan dan spa di Bali selama ini menjadi daya tarik utama bagi wisatawan untuk datang ke Bali.
"Kalau diterapkan sekarang, tamu akan kabur semua, sehingga kami dengan tegas menolak dan menunggu Judicial Review di MK. PBJT 40% ini tidak masuk akal, pembahasannya kami tidak pernah dilibatkan. Ini akan berpotensi mematikan usaha hiburan dan spa di Bali, dan membuat wisatawan lari ke Thailand, yang pajak hiburan hanya 5%, apalagi tiket Jakarta Bali lebih mahal daripada tiket pesawat Jakarta ke Thailand, bayangkan ke Thailand tiketnya hanya Rp1,1 juta, sedangkan ke Bali Rp1,8 juta," kata Suryawijaya.