Bisnis.com, DENPASAR – Tim pembina samsat yang terdiri dari Polri, Jasa Raharja, dan Kementerian Dalam Negeri mengusulkan penghapusan tiga item pajak kendaraan yakni pajak progresif, Bea Balik Nama Kedua (BBN2) dan program pemutihan pajak.
Penghapusan tersebut diusulkan karena pendapatan pajak daerah dari tiga item tersebut dinilai tidak besar dan lebih cenderung membuat wajib pajak menghindar dari membayar pajak kendaraan bermotor. Untuk menghindari pajak progresif, banyak wajib pajak yang memiliki lebih dari satu kendaraan mengatasnamakan kendaraan miliknya dengan atas nama orang lain.
Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri, Agus Fatoni, menjelaskan dari 112 juta jumlah kendaraan yang ada di Indonesia, yang membayar pajak hanya 57 persen atau hanya 63,8 juta unit kendaraan. Sedangkan 43 persen kendaraan di Indonesia tidak melaksanakan kewajibannya membayar pajak. Padahal pajak kendaraan bermotor memberi kontribusi 47,3 persen terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Menurut Fatoni, penghapusan pajak progresif hingga pemutihan bisa mendorong masyarakat membayar pajak secara berkelanjutan. Masyarakat juga akan tidak akan melakukan praktik menghindari pajak.
“Kami mendorong Gubernur, Bupati, Walikota, untuk menghapus pajak progresif, BBN 2, dan pemutihan, untuk mendorong masyarakat membayar pajak secara stabil, karena jumlah yang tidak membayar pajak itu sangat tinggi, jika bisa didorong membayar pajak maka PAD akan meningkat signifikan dan daerah bisa melakukan pembangunan dengan anggaran tersebut,” jelas Fatoni di Badung, Rabu (24/8/2022).
Program pemutihan pajak yang selama ini dilaksanakan oleh Pemda selama dua kali dalam satu tahun dinilai tidak efektif, karena hanya meningkatkan pembayaran sesaat kemudian ketika pemutihan berakhir masyarakat kembali enggan membayar pajak.
Baca Juga
Menurut Fatoni, jika pemutihan dihapus maka masyarakat akan terdorong membayar pajak kendaraan tepat waktu.
Direktur Redrigent Korlantas Polri, Brigjen Yusri Yunus, menjelaskan 95 persen pemilik mobil mewah seperti Lamborghini, Ferrari, menghindari pajak progresif dengan mendaftarkan kendaraannya atas nama Perseroan Terbatas (PT) yang pajaknya lebih kecil. Langkah ini dinilai merugikan negara karena potensi pajak besar akan hilang.
“Orang kaya membeli mobil mewah dengan harga Rp18 miliar, tapi kendaraannya bukan atas nama dia sebagai pemilik, tetapi dibuat atas nama PT, ini kan merugikan negara. Cara seperti ini juga menyulitkan kepolisian ketika penerapan E-Tilang, misalnya orang yang bawa kendaraan tetapi atas namanya orang lain atau PT yang alamatnya berbeda dengan pemilik asli,” ujar Yusri.
Menurut Yusri, lebih baik Pemda menghapus tiga item pajak kendaraan bermotor tersebut, dan fokus mengoptimalkan pajak tahunan yang nilainya akan jauh lebih besar dari pada mengejar pajak progresif dan BBN 2. Jika nilai pajak kendaraan bermotor bisa meningkat signifikan maka infrastruktur jalan di daerah akan lebih bagus dan lebih menjamin keselamatan pengendara. (C211)