Bisnis.com, MANGUPURA—Bappenas meluncurkan Indeks Ekonomi Hijau untuk dapat mengukur progress dan capaian transformasi hijau ekonomi guna memfasilitasi visi 2045 menjadikan Indonesia sebagai negara berpendapatan tinggi.
Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam menegaskan keberadaan Indek Ekonomi Hijau (Green Economy Index) ini diharapkan dapat menjadi salah satu alat kongkrit pengukuran ekonomi hijau di Tanah Air. Diakuinya selama ini, ekonomi hijau tidak memiliki alat pengukuran jelas khususnya di Indonesia sehingga lebih susah untuk menghitung perkembangannya sudah sejauh apa.
“Karena kita ingin lihat green ekonomi dan bisa dievaluasi setiap tahun sehingga bisa ditransformasikan,” ujarnya dalam Media Briefing G20: Measuring The Progress of Low Carbon and Green Economy di Nusa Dua, Selasa (9/8/2022).
Green Economy Index (GEI) terdiri dari 15 indikator yang mencerminkan pembangunan Ekonomi Hijau dalam tiga pilar, yaitu, lingkungan-ekonomi dan sosial. Indikator itu seperti, tutupan lahan, sampah terkecil, penurunan emisi, tingkat kemiskinan, angka harapan hidup, hingga produktivitas pertanian dan tenaga kerja. GEI menghitung skor Indonesia dalam transformasi ekonomi menuju ekonomi hijau dengan melihat perbandingan progress setiap indikator terhadap nilai minimum dan target maksimum yang ingin dicapai.
Medrilzam menekankan indikator yang digunakan tidak asal comot tetapi sudah berdasarkan kajian. Ditekankan olehnya bahwa GEI tidak sekedar ekonomi hijau sehingga terjebak dengan indikator-indikator ekonomi melainkan juga aspek lain seperti lingkungan dan sosial. Dia mengungkapkan hasil pengukuran selama rentang 2011-2020, secara keseluruhan, tren GEI Indonesia menunjukkan peningkatan dan mengindikasikan sinergitas antarpilar pembangunan berkelanjutan.
“Performance dari pilar lingkungan masih ada di bawah pilar ekonomi dan lingkungan tetapi sudah menunjukkan peningkatan dan ini menjadi menarik. Tentu ada pekerjaan rumah dalam konteks lingkungan,” tuturnya.
Kedepannya GEI akan menjadi acuan perencanaan dan kebijakan bagi pemangku kepentingan dan menjadi pengingat untuk terus mendorong perbaikan kondisi sehingga target visi 2045 tercapai dengan lebih hijau lagi. Lebih lanjut ditekankan oleh Medrilzam, untuk mewujudkan visi 2045 dibutuhkan pertumbuhan ekonomi sekitar 6 persen. Adapun saat ini untuk mencapai level 5 persen membutuhkan upaya lebih keras akibat adanya pandemi Covid-19. Sehingga dibutuhkan lompatan. Transformasi ekonomi melalui ekonomi hijau diyakininya dapat menjadi pengubah situasi tersebut.
Dari data yang dipaparkan, transisi menuju ekonomi hijau dapat memberikan sejumlah manfaat positif bagi Indonesia. Contohnya, ekonomi hijau diklaim dapat menghasilkan tambahan 1,8 juta tenaga kerja di sektor hijau pada 2030 yang tersebar di sektor energi, kendaraan elektronik, restorasi lahan, dan sektor limbah. Di sektor lingkungan diprediksi sebanyak 40.000 jiwa akan terselamatkan pada 2045 dari pengurangan polusi udara, restorasi jasa ekosistem jasa ekosistem bernilai US$4,75 triliun per tahun pada 2060, 3,2 juta hektar hutan primer terlindungi pada 2060, penambahan tutupan hutan 4,1 juta hektar pada 2060, peningkatan luas hutan mangrove menjadi 3,6 juta hektar pada 2060, dan peningkatan ketahanan iklim perekonomian.
PDB rata-rata di angka 6,1-6,5 persen per tahun hingga 2050, 87-96 miliar ton emisi Gas Rumah Kaca yang diselamatkan pada rentang 2021-2060, hingga 68 persen penurunan intensitas emisi di 2045, Pendapatan Nasional Bruto (PNB) lebih tinggi di rentang 25-34 persen, setara US$ 13.890-14.975 per kapita pada 2045.