Bisnis.com, DENPASAR -- Bali perlu mendapatkan kebijakan khusus dari pemerintah terutama yang berkaitan dengan bantuan likuiditas untuk pelaku usaha yang bergerak di sektor pariwisata menyusul pembukaan border internasional.
Adapun, pemerintah telah mengeluarkan regulasi yang memungkin pelaku usaha mendapatkan akses pembiayan dari perbankan. Dua regulasi tersebut yakni PMK 32/2021 yag mengatur penjamiann kredit melalui LPEI dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII). Kedua, PMK 71/2020 yang mengatur penjaminan kredit modal kerja Jamkrindo dan Askrindo.
PMK 32/2021 memberikan penjaminan kredit untuk korporasi dengan omset di atas Rp50 miliar. Sementara itu, PMK 71/2020 menanggung imbal jasa penjaminan (IJP) atas kredit dengan batas maksimal Rp10 miliar. Namun, kedua PMK tersebut dinilai tidak mampu mengakomodir pelaku usaha di Bali yang memiliki omset di bawah Rp50 miliar, tetapi membutuhkan kredit di atas Rp10 miliar.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar Ida Bagus Raka Suardana menilai, kebijakan pemerintah yang memberikan kemudahan bagi pelaku usaha untuk mengajukan kredit yakni melalui PMK 71/2020 dan PMK 32/2021, belum bisa mengakomodir pelaku usaha di Bali.
Pelaku usaha di Bali yang sebagian besar bergantung pada sektor pariwisata membutuhkan kebijakan khusus dari pemerintah sehingga mampu mendapatkan likuiditas tambahan dalam menjalankan mesin usaha. Apalagi, di tengah penurunan kasus Covid-19 dan merangkaknya kunjungan wisata, pelaku usaha perlu mendapatkan modal tambahan.
"Bali tentu perlu kekhususan, karena situasi pandemi buth modal, sekarang kan termbat karena adanya PMK tersebut," katanya kepada Bisnis, Jumat (12/11/2021).
Direktur Pelaksana LPEI Dikdik Yustandi mengamini PMK yang saat ini berlaku memang belum bisa mengakomodir kebutuhan pelaku usaha di Bali. Namun, pihaknya akan berupaya untuk mengakomodir agar ada kebijakan yang mampu membantu para pelaku usaha di Bali dengan omset di bawah Rp50 miliar mendapatkan ases likuditas.
Setidaknya, regulasi yang ada memang pernah direvisi. Awalnya, oemerintah mengatur penjamian untuk kredit di antara Rp10 miliar sampai Rp1 triliun. Seiring waktu, pemerintah pun merevisi penjaminan dengan range Rp5 miliar sampai Rp1 triliun. Kebijakan yang mempermudah pelaku usaha di Bali pun akan kembali disuarakan.
"Kita akan sampaikan ini menjadi consern kita, bagaimana nanti mengakomodir pelaku usaha, kita sebelumnya sudah sesuaikan PMK 32 dari semula batasan Rp10 miliar, turun menjadi Rp5 miliar," sebutnya.
Sebelumnya, Ketua Hipmi Bali Pande Agus Permana Widura mengatakan hampir 80 persen pengusaha loka di Bali yang bergerak di industri pariwisata memiliki omset di bawah Rp50 miliar. Artinya, pengusaha lokal di Bali tidak mampu menggantungkan nasib pada PMK 32/2021.
Begitu pula dengan PMK 71/2020 yang membatasi besaran penjaminan hanya pada kredit dengan batas maksimal Rp10 miliar. Pengusaha lokal di Bali, lanjutnya, membutuhkan kredit di atas itu.
"Rata-rata pengusahsa di Bali membutuhkan utang Rp10 miliar, dan pendapatannya di bawah Rp50 miliar, nah harapan kami PMK ini bisa direvisi, ini karena ada gap antara Rp10 miliar sampai Rp50 miliar," katanya
Menurutnya, penjaminan kredit yang telah diberikan kepada sejumlah pengusaha pariwisata, hanya dinikmati perusahaan besar. Bahkan, sebagian besar penerima penjaminan, adalah perusahaan berbentuk konsorsium yang anggotanya tidak hanya pengusaha lokal Bali.
"Saya sudah ngomong dengan LPEI, seolah-olah bantuannya setengah hari, sulit buat pengusaha di Bali untuk menikmati PMK ini," sebutnya.