Bisnis.com, DENPASAR – PT PLN (Persero) menghentikan operasional pembangkit listrik berbasis bahan bakar minyak (BBM) di Bali setelah terjadi penurunan beban puncak selama pandemi Covid-19.
Berdasarkan data PLN, beban puncak kelistrikan di Bali menurun 32 persen menjadi 664 megawatt (MW) per Agustus 2021 dari beban puncak tertinggi pada awal 2019.
Saat ini, daya mampu kelistrikan di Bali adalah sebesar 1.292 MW yang berasal dari sejumlah pembangkit hingga saluran kabel bawah laut tegangan tinggi (SKLT) Jawa-Bali sebesar 340 MW.
General Manager PLN Unit Induk Distribusi (UID) Bali I Wayan Udayana mengatakan, SKLT tetap beroperasi meskipun terjadi penurunan beban.
Hal tersebut berkaitan dengan Surat Edaran Gubernur Bali tentang energi bersih yang mengatur mengenai pembangkit listrik berbasis BBM di Bali tidak beroperasi, di antaranya PLTD Gilimanuk, PLTD Pemaron, dan PLTD Pesanggaran.
Pada akhirnya, tidak beroperasinya pembangkit listrik berbasis BBM tersebut telah mengubah bauran energi listrik di Bali dari semula 19,7 persen dari pembangkit listrik tenaga diesel gas (PLTDG) pada 2020, menjadi 18,6 persen per Agustus 2021.
Kemudian, pembangkit listrik berbasis BBM yang pada 2020 sebesar 2,8 persen menjadi 1,8 persen per Agustus 2021.
“Akibat penurunan beban, SKLT tetap beroperasi mengingat pula terkait Surat Edaran Gubernur tentang energi bersih, pembangkit-pembangkit listrik berbasis BBM di Bali tidak dioperasikan,” katanya kepada Bisnis, Senin (4/10/2021).
Menurutnya, PLN saat ini mendorong konversi energi baru terbarukan (EBT) di Bali, dengan mendukung pemakaian pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap lewat penyediaan fasilitas secara paralel.
Selain itu, PLN juga membuat sistem billing untuk mengakomodasi export-import offset dan memberi credit deposit dari konsumen PLTS atap dengan skema offset 65 persen.
“Saat ini PLTS atap mulai meningkat konsumennya di Bali, dengan rata-rata sampai dengan tahun 2020 penambahan pelanggan PLTS atap sebanyak 21 pelanggan per tahun,” sebutnya.