Bisnis.com, DENPASAR -- Pertumbuhan kredit perbankan di Bali dihadapkan dengan semakin tingginya rasio kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL).
Berdasarkan data Kantor Bank Indonesia Perwakilan Bali, pertumbuhan kredit perbankan di Pulau Dewata kembali mencatatkan angka positif sebesar 0,49 persen secara tahunan (year on year/YoY) pada kuartal II/2021.
Namun, kondisi sebaliknya terjadi pada rasio kredit bermasalah atau NPL yang naik menjadi 4,03 persen pada kuartal II/2021 dari sebelumnya 3,78 persen pada kuartal I/2021.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar Ida Bagus Raka Suardana mengatakan rasio NPL tersebut memang tergolong tinggi dan berisiko, apalagi mendekati batas maksimum yang sebesar 5 persen. Peningkatan NPL pun bisa saja terjadi jika PPKM gagal dan pandemi Covid-19 semakin buruk kondisinya.
Baca Juga : Aset BPD Bali Tumbuh Moncer di Tengah Pandemi |
---|
Apalagi, menurutnya, semua tolak ukur yang menggambarkan kondisi perekonomian Provinsi Bali sangat buruk. Mulai dari pertumbuhan ekonomi, pengangguran, maupun angka kemiskinan.
"Semuanya kan karena Bali perekonomiannya mengandalkan sektor tersier, hampir 68 sampai 70 persen. Dari jumlah tersebut, sebanyak 52 persennya bergantung pada pariwisata," katanya kepada Bisnis, Selasa (7/9/2021).
Menurutnya, perbankan di Bali harus mengantisipasi kenaikan NPL tersebut dengan melanjutkan restrukturisasi debitur. Selain itu, di tengah kredit yang mulai menggeliat, perbankan harus tetap mengedepankan kehati-hatian.
"Jangan sampai salah berikan skema kredit, boleh optimistis tetapi harus realistis," sebutnya.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Bali Trisno Nugroho menilai rasio NPL tersebut masih di bawah standar, yakni 5 persen. Apalagi, umumnya restrukturisasi kredit masih akan berlanjut sehingga potensi kenaikan NPL bisa ditekan.
Baca Juga : Kredit Perbankan di Bali Akhirnya Tumbuh Lagi |
---|
Menurutnya, pertumbuhan kredit yang positif ini tidak akan mendorong peningkatan NPL. Pasalnya, bank dinilai hanya akan menyalurkan kredit pada debitur yang pruden dan masih memiliki prospek.
"Ada peningkatan risiko, tetapi masih dalam batas ambang tinggi di atas 5 persen," sebutnya.
Menurutnya, kondisi saat ini memang berat bagi Bali karena dengan sektor pariwisata dan sektor pendukung sebagai tulang punggung utama ekonomi akan paling tertekan akibat adanya pembatasan mobilitas.
"Pertumbuhan kredit sejalan dengan aktivitas ekonomi di Bali, kalau kegiatan wisata di Bali meningkat dan banyak, pengusaha memerlukan tambahan modal. Kalau naik kegiatannya, pengusaha pengusaha dapat income dan bisa bayar utangnya," sebutnya.