Bisnis.com, DENPASAR - Pelaku usaha sektor ritel di Bali berpotensi kehilangan 15 - 20 persen omzet karena pemerintah kembali membatasi jam operasional di sejumlah tempat usaha akibat kasus Covid-19 yang meningkat.
Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Bali Anak Agung Ngurah Agung Agra Putra mengatakan kebijakan terbaru dari pemerintah untuk membatasi jam operasional di sejumlah tempat usaha hingga pukul 20.00 WIB akan sangat berpengaruh bagi para pelaku sektor ritel. Karena waktu operasional otomatis berkurang di peak hour, ditambah lagi adanya pembatasan kapasitas pengunjung menjadi 25 persen.
"Tentunya kebijakan ini sangat berpengaruh terhadap sektor retail, khususnya di Bali yang hingga saat ini belum menunjukkan adanya tanda-tanda pemulihan ekonomi pasca adanya pandemi Covid-19," tuturnya kepada Bisnis, Rabu (23/6/2021).
Agra menuturkan, berdasarkan data pertumbuhan Fast Moving Consumer Goods (FMCG), Bali mengalami -37 persen pada Q1 2021 (yoy). Hal ini disinyalir karena menurunnya daya beli masyarakat sehingga mengurangi konsumsinya.
Kemudian, data Bank Indonesia menunjukkan bahwa Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan di Bali pada Q1 2021 terkontraksi -3,79 persen. Namun, disaat yang bersamaan DPK Nasional tumbuh 9,4 persen (yoy). Sehingga, ini menunjukkan bahwa selama pandemi masyarakat Bali menggunakan simpanan dan tabungan untuk konsumsi sehari-hari.
Dari sisi lain, adanya wacana pembukaan pariwisata internasional pada Juli mendatang, kata dia, telah memberi harapan baru untuk pemulihan ekonomi Bali. Tetapi dengan diberlakukannya kembali pembatasan aktivitas masyarakat (PPKM) Mikro, maka proyeksi pemulihan di sektor ritel yang sempat dicanangkan harus dirubah kembali.
Baca Juga
Selain itu, kemungkinan terburuk jika PPKM ini dijalankan, yakni terjadinya pemberhentian tenaga kerja. Karena retailer juga mau tidak mau harus melakukan rasionalisasi kembali sebagai dampak penurunan omzet yang terjadi untuk bertahan
"Selain omzet yang menurun, imbas dari PPKM ini juga bisa menyebabkan sejumlah tenaga kerja yang diberhentikan," tambahnya.
Menurut Agra, pelaku industri di sektor ritel telah memahami bahwa PPKM sebagai langkah yang harus dilakukan untuk menghentikan penyebaran Covid-19. Hanya saja, untuk saat ini tidak bisa lagi hanya melihat pandemi dari sisi kesehatan saja.
Dia turut berharap ada cara atau solusi agar roda perekonomian tetap dapat berputar, dan tidak mengorbankan sisi kesehatannya atau tetap menerapkan Protokol Kesehatan (prokes) yang ketat.
"Kami mengharapkan ada diskresi kebijakan bagi pelaku usaha yang sudah menjalankan Prokes untuk dapat beroperasi secara normal," jelasnya.
Sebelumnya, untuk mengatasi peningkatan kasus Covid-19 di Tanah Air, pemerintah kembali menerapkan PPKM Mikro mulai 22 Juni-5 Juli 2021. Namun, ada beberapa perubahan dalam pelaksanaan PPKM Mikro ini, seperti kegiatan perkantoran di zona merah wajib menerapkan work from home (WFH) 75 persen dan work from office (WFO) hanya 25 persen.
Pemerintah juga membatasi kegiatan restoran, kafe, dan pusat perbelanjaan, yakni pengunjung hanya 25 persen dari total kapasitas. Serta jam buka atau operasional hanya sampai pukul 20.00 WIB.