Bisnis.com, DENPASAR - Petani salak di Kabupaten Karangasem Bali harus kembali menelan pil pahit lantaran harga jual buah salak mencapai Rp1.000 per Kg ketika panen raya pada Februari hingga akhir Maret.
Salah seorang petani salak di Karangasem Putu Eka Sudiarti mengatakan akibat rendahnya harga buah salak, sebagian petani yang memiliki lahan luas memilih untuk tidak melakukan panen dan membiarkan buah salaknya membusuk di pohon. Menurutnya, harga jual yang diterima petani tidak sebanding dengan biaya produksi dan biaya pemanenan.
"Ya daripada tambah rugi lagi, dan keluar biaya panen, mending tidak dipanen kan," tuturnya saat dihubungi Bisnis, Kamis, (4/3/2021).
Adapun jenis salak yang harganya rendah, sambung Eka, merupakan jenis salak sibetan yang memiliki rasa sepat dan tekstur yang sedikit keras. Sedangkan jenis lainnya, seperti salak gula memiliki harga yang jauh lebih tinggi hingga mencapai Rp7.000 per Kg. Namun karena pada awal pemberian subsidi bibit oleh pemerintah setempat petani lebih dominan menerima bibit salak sibetan dibandingkan salak gula, sehingga hasil produksi salak gula lebih sedikit.
"Kalau ganti bibit atau tanam baru nggak mudah ya, soalnya dari tanam hingga panen itu perlu waktu sekitar lima tahun," tambahnya.
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bali pada 2020 luas lahan budi daya salak di Pulau Dewata mencapai 2.525 hektare, dengan total produksi 281.375 kuintal per hektare.
Baca Juga
Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bali I Wayan Sunarta mengatakan ketersediaan buah salak yang tinggi tidak didukung dengan permintaannya di pasaran. Selain itu, adanya pandemi yang membatasi kegiatan keagamaan di masyarakat turut mempengaruhi penjualan salak.
"Minggu depan akan ada hari raya Nyepi, semoga disana harga salak bisa naik," kata dia.
Terkait biaya produksi salak, Sunarta menjelaskan bahwa satu Kg salak membutuhkan biaya produksi Rp2.500 - Rp3.000. Biaya ini untuk memberikan pemupukan dan pembersihan di area budi daya.