Bisnis.com, DENPASAR -- Industri Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Bali dinilai masih terjaga di tengah pandemi lewat penurunan rasio kredit bermasalah dan peningkatan likuiditas. Meskipun, baru-baru ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin usaha salah satu BPR di Bali.
Berdasarkan data OJK, per 2020, di Bali terdapat 134 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan 1 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Hingga Desember 2020, rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) industri BPR di Bali adalah sebesar 7,47 persen dengan nilai Rp864,18 juta dari 4.555 rekening.
Sementara itu, total penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) industri perbankan yang berkantor pusat di Bali, melingkupi 134 BPR, 1 BPRS, dan 1 BPD Bali adalah senilai Rp33,38 triliun dengan penyaluran kredit Rp30,71 triliun.
Jika disesuaikan dengan laporan keuangan tahunan BPD Bali yang senilai Rp21,45 triliun untuk DPK dan Rp19,12 triliun untuk kredit, per 2020 industri BPR di Bali mampu menghimpun DPK Rp11,93 triliun dan menyalurkan kredit Rp11,59 triliun.
Sekretaris DPD Perbarindo Bali Made Suarja mengatakan sejumlah nasabah BPR di Bali yang terdampak langsung maupun tidak langsung dengan sektor pariwisata, diakuinya, memang meningkatkan NPL. Namun, NPL BPR di Bali cukup terjaga lewat pemberlakuan POJK 11/2020 tentang restrukturisasi kredit.
"Akan tetapi bagi BPR yang nasabahnya tidak terdampak dengan meredupnya geliat Pariwisata, maka BPR tersebut biasa-biasa saja, alias terjaga dibawah standar ratio yang ditetapkan oleh OJK, yaitu dibawah 5 persen," katanya kepada Bisnis, Rabu (3/3/2021).
Sementara itu, terkait likuiditas, hingga saat ini kinerja BPR di Bali masih terkenali. Apalagi, belum ada keluhan likuiditas dari masing-masing BPR. Sebaliknya, sejumlah BPR di Bali banyak menawarkan penempatan uang antar Bank (PUAB).
Hanya, mengenai nilai pasti kelebihan likuiditas tersebut belum dapat dia bagikan. "Dana menumpuk karena penyaluran kredit sangat terbatas, masayarakat yang mau menambah modal usaha masih menunggu ekonomi pulih," sebutnya.
Sementara itu, OJK pada 2 Maret 2021 mencabut izin usaha PT BPR Sewu Bali di Tabanan.
Dalam pengumuman OJK yang dikutip Bisnis, pencabutan izin usaha tersebut didasarkan pada Keputusan Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor KEP-33/D.03/2021. Dengan pencabutan izin usaha tersebut, Kantor PT BPR Sewu Bali ditutup untuk umum dan BPR menghentikan segala kegiatan usahanya.
Kemudian, penyelesaian hak dan kewajiban PT BPR Sewu Bali akan dilakukan oleh Tim Likuidasi yang akan dibentuk oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku.
Pengurus maupun Pemilik PT BPR Sewu Bali dilarang melakukan segala tindakan hukum yang berkaitan dengan aset dan kewajiban BPR, kecuali dengan persetujuan tertulis dari LPS.
Sementara itu, dalam rangka pembayaran klaim simpanan nasabah PT BPR Sewu Bali, LPS akan memastikan simpanan nasabah dapat dibayar sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
LPS akan melakukan rekonsiliasi dan verifikasi atas data simpanan dan informasi lainnya untuk menetapkan simpanan yang akan dibayar. Rekonsiliasi dan verifikasi dimaksud akan diselesaikan LPS paling lama 90 hari kerja sejak tanggal pencabutan izin usaha, yakni paling lambat tanggal 14 Juli 2021.