Bisnis.com, DENPASAR - Panen garam kristal Amed pada 2018 mengalami kenaikan dikarenakan musim panas yang lebih panjang dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Ketua Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis ( MPIG) Garam Amed Bali, Nengah Suanda, mengungkapkan total panen garam produksi petani di daerahnya mencapai 30 ton, naik 50% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya sekitar 20 ton per tahun.
Menurutnya, kenaikan itu dipacu oleh lebih panjangnya cuaca panas terik sehingga memungkinkan penjemuran lebih panjang.
"Tahun ini bisa 6 bulan biasanya hanya 4 bulan jadi lebih panjang. Sekarang saja masih belum hujan padahal desa sekitar kami sudah hujan," jelasnya ketika ditemui di Amed, Selasa (27/11/2018) sore.
Garam Amed diproduksi oleh sekitar 20 orang petani di objek wisata pesisir Amed, Karangasem. Total luasan lahan yang digunakan untuk memproduksi garam tradisional ini hanya sekitar 60.000 meter persegi. Alih fungsi lahan menjadi akomodasi wisata menyebabkan luasan lahan untuk memproduksi garam semakin terancam.
Harga Bervariasi
Hingga saat ini, garam Amed tercatat sebagai satu-satunya sentra produksi garam tradisional non yodium di Bali yang masih menggunakan metode tradisional. Meski tradisional, kandungan garam dari Karangasem ini sudah diakui dunia, salah satunya Prancis karena kandungan mineral dan kekhasan cita rasa garamnya.
Suanda menuturkan saat ini harga jual garam kristal Amed bervariasi, tetapi sekitar Rp30.000 per kg di tingkat petani. Adapun di tingkat pemasar, harganya bisa lebih tinggi.
Produk garam Amed selama ini dipasarkan kepada konsumen di luar daerah seperti Jakarta hingga beberapa wisatawan. Oleh wisman, produk garam Amed dibawa menjadi oleh-oleh ke negaranya.
Dia menuturkan, meskipun ancaman alih fungsi tinggi, petani garam Amed tetap berkomitmen untuk mempertahankan tingkat produksi.
"Tantangan semakin berat, tetapi sudah ada perhatian dari beberapa pihak termasuk pemerintah dalam waktu dekat ini menyumbang mesin air," paparnya.