Binsis.com, DENPASAR—Perupa Made Wiradana menggelar 27 karya dengan gaya naif primitif dalam pameran tunggal bertajuk ‘Sensibilty Line’ di Griya Santrian, Sanur, Denpasar.
Kurator I Wayan Seriyoga Parta mengatakan figur-figur naif primitif yang memenuhi bidang karya Wiradana jika diamati secera seksama menyuguhkan narasi. Terkadang narasi binatang, manusia, atau narasi antarkeduanya.
"Tampak dari kejauhan, karya Wiradana seperti menampakkan dinding lapuk dengan tekstur warna alam abu, keciklatan, hingga kehitaman. Setelah diperhatikan dari jarak dekat tampaklah narasi dari aneka figur yang ditampilkan,” katanya.
Baca Juga
Kata dia sejumlah karya Wiradana mengetengahkan komposisi abstraksi yang dibentuk dari karakter garis-garis spontan dan ekspresif kuat membentuk berbagai figur fauna dan manusia berdasarkan imajinasinya.
“Garis menjadi kekuatan karya Wiradana yang diterakan dengan spontan tanpa beban dan mengalir liar,” tuturnya.
Wiradana mengaku garis merupakan napas pertama dalam berkarya. Ia mempertahankan dan mengembangkan teknik melukis dengan imajinasi bebas yang awalnya terinspirasi dari lukisan di gua purba di wilayah Sulawesi Selatan.
“Pameran ini juga menandai ulang tahun saya yang ke-50 pada 27 Oktober mendatang,” kata Wiradana, sebelum pembukaan pameran, Jumat (7/9/2018). Pameran ini berlangsung 7 September-31 Oktober 2018.
Wiradana adalah mantan alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang sejak pamaeran tunggal perdana ‘Imajinasi Purba’ di Purna Budaya Yogyakarta pada 1991 tetap menekuni figur-figur naif dan primitif.
Wiradana pernah menyabet penghargaan karya lukis terbaik FSR ISI Yogyakarta, Sketsa Terbaik FSR ISI Yogyakarta, finalis Philip Morris 1998 dan 2000, serta Ambassador Award of Indonesia-Belgium, 2006.
Salah satu karya yang mencolok di pameran ini adalah penggambaraan perburuan ikan oleh sejumlah nelayan di lautan lepas.
Wiradana seolah mengisyaratkan cara-cara manusia masa lampau yang secara alami mendapatkan ikan sesuai dengan kebutuhan, yang sangat berbeda dengan sekarang yang menggunakan pukat harimau yang mengancam sumber daya ikan di laut kita.
Pada sejumlah karya figuratif ini juga terselip kritik sosial dan lingkungan melalui cara naif tanpa meninggalkan estetika yang menggelitik ala Wiradana.