Bisnis.com, DENPASAR - Penanganan sampah organik di Bali tak banyak dilirik karena membutuhkan usaha lebih agar bisa bernilai tambah. Sekadar sebagai gambaran, untuk menghasilkan pupuk kompos diperlukan waktu proses tiga bulan.
Warga Sumerta Kauh, Kota Denpasar, Putu Desi Karmani, mengatakan gerakan memilah sampah dari rumah tangga sudah lama digalakkan. Namun demikian, untuk orang yang tinggal di perkotaan ada kesulitan tersendiri.
"Sampah basah dari dapur misalnya, kalau dipilah perlu wadah sendiri, sampah daun dan organik lain perlu wadah sendiri, plastik ada sendiri. Agak ribet," ujarnya, Kamis (3/7/2025).
Dia melanjutkan bila sampah organik diminta diolah jadi kompos maka memerlukan lahan untuk buat tebe modern (lubang sampah). Sementara untuk warga perkotaan seperti di Denpasar keberadaan lahan sangat terbatas.
Direktur Badan Usaha Milik Desa Sari Amreta Sudha, I Wayan Tirtayasa, menuturkan pernah survei sampah yang dihasilkan rumah tangga di Sidakarya, Denpasar. Satu rumah (KK) bisa menghasilkan 1,25 kg sampah per hari, dengan komposisi 70% berupa sampah organik. Dari total sampah organik sebanyak 25% merupakan sampah dapur, dan sisanya sampah kebun/upacara.
"Sampah kebun ini baru bisa dibuat pupuk organik. Tapi bila dikelola secara massal, pembuatan pupuk organik memerlukan biaya operasional tinggi. Proses lama bisa tiga bulan. Pembeli belum tentu ada," jelasnya.
Baca Juga
Oleh karena itu, kata dia, pernah di Sidakarya, Denpasar, digulirkan tempat pengolahan sampah organik berbentuk kantong (compost bag) di setiap rumah. Sampah organik dimasukkan ke kantong tersebut dan diberi bakteri pengurai sehingga pupuk yang dihasilkan bisa dipanen tiga bulan.
"Tebe modern sempat diwacanakan di Sidakarya, tetapi bila tanah digali satu meter saja muncul air. Maka ada uji coba compost bag," tuturnya.
Timbulan sampah di Bali pada 2024 berdasarkan sistem informasi pengelolaan sampah nasional (SIPSN) mencapai 3.198,5 ton per hari. Kumulatif dalam satu tahun timbulan sampah di Pulau Dewata bisa mencapai 1.167.451,75 ton.
Adapun dari total timbulan sampah, komposisinya terdiri dari kayu ranting 38,2%, sisa makanan 27,66%, plastik 16,91%, kertas karton 8,22%, lainnya 2,59%, logam 2,13%, kain 1,41%, karet/kulit 1,55% dan kaca 1,33%.
Bila merujuk data tersebut, 65,7% timbulan sampah di Bali berjenis organik. Dari total sampah yang terdata, sebanyak 76,15% berasal dari rumah tangga, 7,5% dari perniagaan dan 1,41% dari perkantoran.
Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga think-tank di bidang energi dan lingkungan, dalam publikasi resmi menyebutkan kemampuan pengelolaan dan ketersediaan infrastruktur persampahan di Bali tidak seiring dengan pertambahan timbulan sampah.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menuturkan penyelesaian masalah sampah memerlukan pendekatan holistik dan terpadu dengan menekankan pada ekonomi sirkuler yaitu penegakan hukum, pembangunan infrastruktur persampahan, khususnya TPA, pemberian insentif/disinsentif ekonomi yang mencerminkan biaya pengolahan sampah, serta memobilisasi partisipasi masyarakat untuk mengurangi sampah, dan mengolah sampah organik di sumber atau di tingkat komunitas.