Bisnis.com, DENPASAR - Ketimpangan pembangunan antara Bali Selatan dan Bali Utara masih menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bagi pemerintah.
Ketimpangan ini disebabkan oleh pusat aktivitas ekonomi Bali masih berada empat Kabupaten di Bali Selatan yakni Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan (Sarbagita).
Deputi Kepala Perwakilan Provinsi Bali, Gusti Agung Diah Utari menjelaskan Konsentrasi perekonomian pada wilayah tersebut juga tercermin dari share ekonomi, hingga kredit dan DPK yang cukup besar.
Pada posisi Oktober, realisasi kredit di kawasan pariwisata mencapai Rp95,75 triliun, sedangkan di kawasan non pariwisata Rp27,71 Triliun. Simpanan nasabah juga didominasi dari daerah pariwisata dengan nilai dana pihak ketiga (DPK) Rp151,75 triliun, sedangkan di luar daerah pariwisata hanya Rp21,99 triliun.
Ketimpangan juga tergambar dari rata-rata pendapatan pekerja di kawasan pariwisata dan non pariwisata. Rata-rata pendapatan pekerja di kawasan pariwisata Rp5,67 juta, sedangkan di kawasan non pariwisata hanya Rp3,3 juta.
Kawasan non pariwisata meliputi daerah yang pergerakan ekonominya tidak bertumpu pada pariwisata seperti Jembrana, Karangasem, Buleleng, Bangli, Klungkung.
Baca Juga
"Share ekonomi Bali dari pariwisata mencapai 65,96%, sedangkan non pariwisata hanya 34,04%. Aktivitas pariwisata yang bertumpu di Selatan membuat ketimpangan terjadi. Ini terlihat juga dari Indeks Williamson antar wilayah pariwisata dan non pariwisata yang mencapai 0,52. Semakin tinggi indeks Williamson, maka semakin besar ketimpangan yang terjadi antar wilayah. Nilai maksimal Indeks Williamson adalah 1 (ketimpangan sempurna)," jelas Diah Utari dalam Outlook Ekonomi 2025, Selasa (10/12/2024).
Ketimpangan juga terlihat dari investasi yang masuk, Bank Indonesia mencatat, baik Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) masih didominasi ke Bali Selatan.
PMA pada 2023 misalnya mencatat sekitar US$700 juta masuk ke Bali Selatan, sedangkan di luar Bali Selatan hanya sekitar US$100 juta. Begitu juga PMDN ke Bali Selatan mencapai sekitar Rp6 Triliun pada 2023, sedangkan di luar Bali Selatan hanya sekitar Rp1 triliun.
Diah menjelaskan struktur lapangan usaha Bali Selatan dengan Bali Utara, Barat maupun timur memang berbeda. Lapangan usaha Bali Selatan didominasi oleh akomodasi, makanan dan minuman (akmamin) dengan share 0,90%, kemudian konstruksi, perdagangan besar dan eceran.
Sedangkan kawasan lainnya didominasi oleh lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan dengan share 0,54%, penyedia akomodasi makanan dan minuman, dan perdagangan besar dan eceran.
"Perlu upaya penguatan dan diversifikasi ekonomi agar, pemerataan infrastruktur seperti pembangunan tol Gilimanuk - Mengwi shortcut untuk mendukung aksesibilitas ke luar Bali Selatan," ujar Diah.