Bisnis.com, DENPASAR—Di atas lahan seluas 100 meter persegi di daerah Batubulan, Kabupaten Gianyar, Ni Nyoman Rida Bimastini menyebarkan gairah optimisme baru penanganan sampah di Bali. Di lahan yang berada di samping bengkel mebel kayu tersebut, dia tidak jijik memegangi maggot-maggot di dalam kotak berwarna biru.
Ada puluhan kotak penampung organisme mirip belatung itu. Nyoman Rida Bimastini atau Ima adalah salah satu pendiri Magi Farm, usaha rintisan yang bergerak di jasa manajemen pengolahan sampah makanan di Bali memanfaatkan magot. Maggot merupakan larva jenis lalat Black Soldier Fly (BFS) atau Hermetia Illucens. Maggot mirip belatung tetapi tidak dapat menularkan pathogen ke manusia. Perbedaan dengan belatung, warna maggot cenderung cokelat muda, dan memiliki kandungan nutrisi tinggi untuk pakan ternak dan pupuk.
Maggot diklaim bisa memakan sampah organik 2 sampai 5 kali bobot tubuhnya selama 24 jam. Metode penguraian ini tidak menimbulkan efek samping. Larva maggot yang mengurai akan mati, dan bisa digunakan sebagai makanan ternak.
“Sewaktu awal melihat ini, wah ternyata ada begini. Ya sudah kami coba untuk membuktikan benar-benar di rumah, dan benar sampah tidak ada sisa lagi,” ujarnya ketika ditemui Bisnis pada akhir pekan Oktober lalu.
Magi Farm dapat disebut satu-satunya jasa pengelola sampah sisa makanan menggunakan magot di Pulau Dewata. Di pulau berpenduduk 4,4 juta jiwa ini ini, cukup banyak jasa pengola sampah. Hanya saja, sebagian besar fokus dengan sampah plastik. Masih sangat jarang memproses sampah rumah tangga, khususnya sisa makanan. Oleh karena itu, kemunculan Magi Farm memikat masyarakat. Dikarenakan, metodenya solutif, dan tidak menimbulkan bau. Bahkan, sisa sampah hasil penguraian berupa kasgot yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman.
Magi Farm menawarkan dua skema layanan. Pertama, penjemputan sampah organik yang telah dipilah setiap dua atau tiga hari sekali. Pelanggan akan mendapatkan bak untuk menampung sampah hasil pemilahan. Sampah itu dijemput dan diurai oleh maggot di lokasi milik Magi Farm. Kedua, layanan menyeluruh, yakni pelanggan membuat instalasi budidaya maggot sendiri. Magi Farm akan memberikan bayi magot. Pelanggan menyediakan sampah organik untuk diurai . Setiap beberapa hari, petugas Magi Farm akan menukar maggot yang telah dewasa dengan bayi maggot.
Untuk menikmati fasilitas tersebut, pelanggan harus membayar. Tarifnya berbeda tergantung jenis usaha dan rumah tangga serta lama berlanggan. Syarat di dua skema itu, sampah harus benar-benar sudah dipilah. Usaha rintisan ini didirikan oleh Ima bersama I Putu Soma Rolandwika atau Soma periode pandemi Covid-19 yakni, akhir 2020.
“Waktu itu kami melihat persolan sampah di Bali luar biasa, tapi gaung penangananya kok biasa-biasa saja. Khususnya sampah sisa makanan justru tidak diseriusi. Kami berpikir seharusnya sampah menjadi tanggung jawab masing-masing dari awal,” ujarnya.
Dari kegelisahaan itu, Ima berpikir bagaimana setiap orang bertanggung jawab terhadap sampah yang dihasilkan. Tanggung jawab ini akan membuat sampah yang dibuang di TPA bisa berkurang. Kalau perlu tidak ada lagi dibuang ke TPA. Dia sempat mencoba teknik composting. Akan tetapi hasilnya tidak memuaskan. Proses dianggap belum sesuai harapannya. Pada saat bersamaan, munculah informasi soal budidaya magot. Ima kemudian mencari maggot ke peternak lokal di daerah Canggu, Kabupaten Badung. Dari situ dia memperoleh gratis 5 kg. Bermodal pemberian itu, dia meminjam lahan seluas 100 meter persegi milik orang tua Soma untuk lokasi budidaya.
“Kami benar-benar mulai dari nol, hanya mengandalkan informasi dari youtube saja. Sebenarnya, kalau dipikir-pikir lucu juga karena sampah sisa makanan jarang yang mau mengurus, karena bau dan tidak menjanjikan lah. Cuma saat itu kami jalan karena idealisme supaya sampah hilang,” jelasnya.
#Dua Tahun Korek Sampah#
Saat awal mendirikan Magi Farm, motivasi utamanya untuk membuat sampah lenyap. Belum ada keinginan berbisnis dengan menjual jasa penanganan sampah organik. Fokusnya saat itu membudidayakan maggot yang dapat mengurai sampah. Alhasil, selama periode 2020 sampai 2022, Ima bersama Soma harus merogoh kocek gaji bulanannya sebagai karyawan di organisasi nirlaba di Ubud buat menalangi operasional. Ima dan Soma terjun sendiri mengurus budidaya dan hingga antar jemput sampah. Saat itu, karena masih awal, hasil budidaya Magi Farm masih terbatas. Sementara harga jual ke peternak hanya Rp7.000 per kg.
“Awalnya kami berpikir dan sadar tidak bisa hidup maggot. Jadi awalnya jual maggot saja lah. Soal sampahnya itu ngayah [berderma],” ungkapnya.
Ima bercerita periode tersebut merupakan masa terberat. Mereka belum paham tentang rantai distribusi organisme ini dari hulu sampai hilir. Tantangan lainnya adalah susahnya mendapatkan pasokan makanan. Maggot butuh makanan sangat banyak, dan harus organik.
Lika-liku mendapatkan pasokan sisa makanan inilah yang menguji ketangguhannya sebagai wirausaha sosial lingkungan. Sampah di Bali sebagian besar masih bercampur antara organik dan anorganik, karena masyarakat masih enggan memilah sampah sebelum dibuang.
Mengatasi persoalan ini, pada 2022 Ima sempat menjalin kerja sama dengan jasa pengangkutan sampah. Tujuannya agar mudah mendapatkan pasokan. Problemnya jasa angkut sampah tidak pernah memilah. Menganggap strategi ini salah, Ima mencoba langsung bekerja sama dengan depo penampung sampah. Bahkan, saat itu pihaknya berkomitmen mau membeli sampah organiknya. Akan tetapi baru tiga hari berjalan memutuskan berhenti. Pasalnya, sampah yang dipilah sudah banyak terkontaminasi dan tidak dapat dikonsumsi maggot.
“Bau sekali sampahnya, kami sampai korek-korek sampah tapi akhirnya berpikir tidak bisa kalau seperti ini karena sampahnya juga sudah terkontaminasi,” jelasnya.
Strategi lain dicoba, yakni kerja sama langsung dengan penghasil sampah. Hotel dibidik, karena dianggap penghasil sampah makanannya banyak, khususnya yang memiliki meeting, incentive, convention and exhibition (MICE). Salah satu hotel di Kota Denpasar bersedia. Selama empat bulan Magi Farm menempatkan ember untuk sampah organik atau sisa makanan. Sistem ini sempat dikira akan berhasil. Kenyataanya, bukannya semakin baik justru menambah beban kerja mereka. Setiap malam Ima dan Soma harus bergantian memilah, dan mengangkut dari hotel ke lokasi penampungan di luar kota Denpasar. Berbekal mobil pinjaman orang tua Soma, aktivitas itu mereka jalani berbulan-bulan.
“Setiap jam 8 malam kita korek-korek sampah memakai masker terus masukin ke ember. Padahal kami sudah minta supaya dipilah. Waktu itu ibu saya sampai bilang kamu di universitas tapi tamatnya kok kerja begini [memilah sampah]. Tapi karena ini komitmen ya saya tertawa saja,” jelas Ima alumni Fakultas Ekonomi UGM ini.
Sistem ini terus dilakoni hingga akhir 2022. Periode itu,menurutnya secara tidak langsung menjadi masa research and development (RnD). Bahkan, proses membeli sampai menjemput ke penghasil sampah ini memunculkan ide baru. Dari pengalaman itu, Ima berpikir bahwa skema jasa dan langganan bisa diterapkan di Bali. Menurutnya, orang harus bertanggung jawab dengan sampah yang dihasilkan dan mereka harus membayar untuk itu. Tidak bisa sembarangan membayar murah kemudian enggan mengetahui proses sampah berikutnya.
“Kami ingin orang paham bahwa mereka menghasilkan sampah dan harus tanggung jawab. Kalau kami memang harga lebih mahal, tetapi secara value dampak itu lebih terasa,” jelasnya.
Pada awal 2023, Ima skema jasa dan langganan mulai diterapkan. Ima dan Soma juga memutuskan resign dari tempat kerjanya. Keputusan ini sempat disayangkan oleh temannya dan dianggap gila karena lebih memilih menekuni budidaya maggot. Namun, keputusan ini dibuat karena menilai Magi Farm punya prospek besar di daerah Bali.
Pada tahun mereka berhenti kerja, Magi Farm mendapatkan dana dukungan dari hasil mengikuti pitching kompetisi usaha rintisan. Ima pun akhirnya merekrut pegawai milenial untuk memperkuat tim. Pembenahan dilakukan mulai dari manajemen dan operasional. Ima semakin fokus menawarkan skema jasa Magi Farm lewat media sosial. Supaya calon pelanggan tertarik, Magi Farm memberikan free trial 2 minggu. Tim Magi Farm akan menjemput sampah setiap dua atau tiga hari sekali ke rumah pelanggan. Setelah itu, jika tertarik pelanggan harus subscribe. Mereka juga mengikuti tender di beberapa hotel. Meskipun puluhan penolakan mereka dapatkan di awal 2023 karena masih minim portofolio.
Titik balik terjadi ketika TPA terbesar di Bali yakni TPA Suwung terbakar pada pertengahan 2023 dan harus ditutup. Kebakaran TPA Suwung disebabkan gas metan yang tertanam di tumpukan sampah. Pemerintah daerah ikut memberi imbauan agar masyarakat memilah sampah. Peristiwa itu secara langsung mengedukasi masyarakat. Banyak dari warga yang sampahnya tidak terangkat petugas, mulai berpikir memilah sejak awal. Saat itu, mulai banyak pelanggan rumah tangga mengontak. Kendati demikian, tidak mudah mengajak masyarakat sadar. Banyak dari calon pelanggannya menganggap biaya berlangganan mahal dan enggan membudidayakan magot karena jijik.
“Kami jelaskan pelan-pelan kalau ini kan usaha jasa dan sampah menjadi tanggung jawab masing-masing orang. Ada yang menerima ada yang belum dan itu wajar,” jelasnya.
#Solusi Murah#
Upaya Ima mengenalkan jasa Magi Farm semakin menuai hasil ketika berhasil menggandeng Hotel Grand Hyatt Bali (GHB) di Nusa Dua sebagai pelanggan. Dari sinilah kemudian satu persatu pelanggan bermunculan, dan percaya dengan Magi Farm hingga sekarang.
Saat ini, total sudah ada sebanyak 100 rumah tangga, dan 30 hotel serta restoran di Badung, Gianyar dan Kota Denpasar menjadi pelanggan. Rumah tangga dan usaha itu tersebar mulai dari Ubud, hingga Nusa Dua. Setiap hari, Magi Farm mampu mengolah sebanyak 300 kg sampah sisa makanan. Usaha rintisan ini juga sudah merekrut sebanyak 10 orang pegawai generasi milenial.
Kehadiran Magi Farm merupakan solusi minim biaya, serta tuntas. Enviromental Officer Company Grand Hyatt Bali Ahliana mengungkapkan magot terbukti cepat mengurai sampah sisa makanan. Setiap bulan, hotel bintang lima ini mampu mengurai 3 ton sampah sisa makanan. Proses itupun dilakukan di area hotel di atas lahan seluas 100 meter persegi.
“Tidak bau dan cepat, jadi benar-benar solusi,” jelasnya kepada Bisnis.
Selama ini GHB menghasilkan sebanyak 20 ton sampah sisa makanan per bulan. Sampah itu diswakelolakan dengan masyarakat lokal. Rencananya jumlah sampah yang diurai oleh magot akan ditingkatkan menjadi 5 ton per bulan. Ahliana menegaskan keberadaan Magi Farm tidak hanya menjadi solusi murah dan cepat.
Hotel mendapatkan benefit lainnya berupa keberpihakan terhadap lingkungan atau sustainability. Menurutnya, keberadaan magot di hotel membantu manajamen menyakinkan klien ternama dari berbagai negara yang membutuhkan aksi nyata dari manajemen hotel terkait keberpihakan lingkungan.
“Kesadaran lingkungan di kalangan pelanggan sangat besar. Kami baru saja mendapatkan request langkah apa yang sudah dilakukan terhadap lingkungan. Magot ini salah satu kuncinya,” jelasnya.
Kiprah GHB Bali menggunakan magot juga menular ke beberapa hotel lain di kawasan ITDC Nusa Dua. Inisiatif Ima ini telah membuatnya diganjar sebagai salah satu daftar penerima SATU Indonesia Awards Nasional 2023 untuk Provinsi Bali kategori Individu Lingkungan.
Meski demikian, Ima menyadari kiprah Magi Farm di Bali masih terbilang mini untuk ukuran Bali. Data Kementerian Lingkungan Hidup mengungkap, produksi sampah di Bali mencapai 3.368 ton per hari. Sumbernya, 60 persen dari rumah tangga, sisanya dari kantor, pasar sampai perusahaan. Komposisi sampah tersebut, 51 persen adalah sampah organik (sisa makanan, ranting dan kayu), sedangkan 49 persen sampah anorganik.
Sejak lama, sampah tersebut hanya ditimbun di TPA Suwung. TPA ini terbesar di Bali dan jadi tujuan pembuangan bagi warga Kabupaten Badung, Tabanan, Gianyar, dan Kota Denpasar. Ratusan miliar dana APBN sudah digelontorkan pemerintah pusat mengatasi persoalan sampah di Bali.
Mulai dari penataan TPA Suwung sampai pembangunan tempat pemilahan sampah terpadu (TPST) di Kota Denpasar yang diresmikan oleh Presiden Jokowi. Hasilnya, sampai kini tidak jelas, bahkan TPS3R di Kota Denpasar urung berjalan. Masyarakat pun kini kewalahan karena banyak sampah tidak terangkut. Setiap hari ditaksir ada sekitar 756 ton sampah yang tidak tertangani. Isu sampah terus mengemuka di Bali dan menjadi perhatian utama pemerintah pusat hingga dunia, Hanya saja fokus penanganannya masih terbatas pada sampah plastik.
Ima menuturkan, Magi Farm mengatakan sedang berencana memperluas cakupan usaha. Salah satunya dengan menyewa lahan seluas 4x100 meter persegi di daerah Denpasar Timur. Lahan itu nanti untuk menambah kapasitas budidaya magot. Harapannya agar semakin banyak sampah yang dapat diolah. Karena permintaan mulai banyak masuk ke usahanya. Saat ini jumlah pegawai yang terlibat dalam bisnis ini sudah mencapai 10 orang dan semuanya generai milenial.
“Terus terang, sekarang ini kami banyak menolak karena kapasitas masih terbatas. Makanya kalau lahan satunya jadi akan bisa menampung permintaan,” jelasnya.
Ima memiliki impian, Magi Farm dapat menjalin kerja sama dengan bumdes. Dengan begitu, ada hubungan symbiosis mutalisme dimana desa mendapatkan pendapatan, dan persoalan sampah rumah tangga teratasi. Selain itu, semakin banyak mitra terlibat sehingga pengiriman sampah ke TPA semakin berkurang.
Dia optimistis impian itu bisa tercapai. Meskipun belum tercapai, tetapi setidaknya mulai sekarang kesadaran memilah sampah dari rumah sudah mulai tersampaikan. Ini menurutnya sangat penting di era sekarang untuk mengatasi problematika sampah di Bali.