Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Inflasi Bali Kembali Meroket, Program Pemerintah Belum Ampuh?

Inflasi terutama bersumber dari kenaikan harga daging ayam ras, beras, telur ayam ras, cabai rawit, dan canang sari.
Aktivitas jual beli kebutuhan pokok di Pasar Minggu./Bisnis-Nurul Hidayat.
Aktivitas jual beli kebutuhan pokok di Pasar Minggu./Bisnis-Nurul Hidayat.

Bisnis.com, DENPASAR - Aksi pengendalian inflasi yang dilakukan melalui instrumen empat kebijakan strategis (4K) seperti yang disebutkan Bank Indonesia rupanya belum ampuh membendung laju inflasi di bawah 3% (yoy). Pada Maret 2024 laju inflasi Bali meroket ke angka 3,67%, lebih tinggi dibandingkan inflasi nasional yang tercatat di kisaran 3,05%(yoy). 

Instrumen 4K yang dimaksud sesuai yakni melaksanakan kegiatan operasi pasar di seluruh kota/kab di Bali, kedua melakukan sidak pasar untuk memastikan ketersediaan stok dan harga barang, ketiga perluasan lahan tanam di Provinsi Bali, seperti menambah luas tanam bawang merah, pemetaan saluran irigasi di seluruh Bali untuk memastikan kecukupan air area persawahan. Terakhir meningkatkan peran Perumda, antara lain dengan memasukkan Perumda ke dalam TPID dan mendorong seluruh kota/kab memiliki Perumda.

Dari empat kebijakan tersebut, operasi pasar menjadi langkah jangka pendek yang rutin dilakukan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID), akan tetapi operasi pasar tidak begitu efektif mengendalikan harga bahan pokok di momen - momen tertentu, seperti saat Hari Besar Keagamaan. Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Erwin Soeriadimadja menjelaskan kenaikan komoditas seperti beras hingga ayam daging ras memberi andil terhadap meroketnya inflasi pada Maret 2024. 

"Berdasarkan komoditasnya, inflasi terutama bersumber dari kenaikan harga daging ayam ras, beras, telur ayam ras, cabai rawit, dan canang sari. Kenaikan harga daging ayam ras diperkirakan akibat kenaikan harga pakan," jelas Erwin dari keterangan resminya, Jumat (5/4/2024). 

Erwin juga menjelaskan kenaikan harga beras terjadi akibat adanya pergeseran musim panen. Secara historis selama lima tahun terakhir, komoditas daging ayam ras cenderung mengalami kenaikan harga menjelang hari raya Galungan dan Kuningan serta Ramadan.

Menurutnya risiko yang perlu diwaspadai antara lain kenaikan permintaan makanan jadi dan pakaian pada bulan puasa dan Idulfitri. Selain itu, kenaikan gaji ASN dan UMP berpotensi mendorong kenaikan permintaan yang lebih tinggi dari prakiraan. Lebih lanjut, musim kemarau basah dan periode pancaroba yang diperkirakan berlangsung pada bulan Maret hingga April 2024, perlu diwaspadai karena dapat memunculkan virus ternak dan tumbuhan. 

Dua kebijakan jangka menengah dan panjang dalam pengendalian inflasi rupanya belum dilaksanakan secara optimal, misalnya perluasan lahan tanam komoditas strategis seperti bawang dan cabai. Pemda telah berupaya membuka lahan baru dengan memanfaatkan lahan atau aset Pemda, misalnya di Kabupaten Buleleng, Pemda telah memanfaatkan lahan tidur seluas 2 hektare dengan menanam cabai. 

Akan tetapi pembukaan lahan tidak sebanding dengan alih fungsi lahan yang masif terjadi, terutama untuk kawasan pemukiman, hotel dan villa. Alih fungsi lahan tidak hanya terjadi di Bali Selatan yang merupakan pusat pariwisata, akan tetapi terjadi di daerah pertanian seperti Kabupaten Buleleng.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2019 luas lahan pertanian Buleleng 125.700 hektare, terdiri dari lahan sawah 10.335 hektare dan lahan bukan sawah 115.365 hektare. Saat ini lahan sawah yang masih produktif sekitar 9.540 hektare atau berkurang 795 hektare jika dibandingkan 2019.

Sementara itu target pembentukan Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Pangan di setiap daerah juga tidak berjalan mulus, walaupun sudah diinisiasi sejak zaman Gubernur Wayan Koster, baru dua Kabupaten yang Perumda pangannya berjalan efektif yakni Kabupaten Tabanan dan Buleleng. Dari evaluasi TPID Bali dan Nusa Tenggara yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia beberapa waktu lalu di Nusa Dua, terungkap mayoritas Pemda kesulitan jika dituntut membentuk Perumda Pangan. 

Menurut sebagian Pemda yang hadir, Pembentukan Perumda membutuhkan komunikasi politik dengan DPRD, karena akan ada penyertaan modal daerah yang membutuhkan persetujuan DPRD. Selain itu Perumda pasti dituntut menyetorkan laba ke kas daerah, padahal peran Perumda pangan sebagai offtaker belum tentu untung secara bisnis. 

Adanya Perumda juga belum tentu efektif dalam pengendalian inflasi, bahkan sebelumnya pengamat ekonomi Universitas Pendidikan Nasional, Ida Bagus Raka Suardana menyebut sangat bagus jika Perumda Pangan dibentuk di setiap Kabupaten/Kota. Namun, keseriusan Pemda dalam mengelola Perumda sehingga bisa berperan optimal.

Menurutnya jangan sampai Perumda hanya dibentuk kemudian tidak dikelola dengan baik seperti pembentukan Perumda atau BUMD di masa lalu. "Perumda Pangan dapat sebagai salah satu cara untuk mengatasi laju inflasi asal bisa bekerja atau berperan dengan efektif. Perannya sebagai penyangga untuk komoditas penting seperti beras, cabai, dan beberapa komoditas lainnya," jelas Suardana.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Miftahul Ulum
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper