Bisnis.com, DENPASAR - Penerapan Pajak Hiburan dan Jasa Tertentu (PBJT) 40% menuai polemik di kalangan pelaku usaha dan pelaku pariwisata di Pulau Dewata.
Sejumlah pengusaha menilai besarnya pajak hiburan tersebut bisa berdampak buruk bagi pariwisata Bali.
Apalagi sektor pariwisata menjadi salah satu unsur penting dalam menopang penerimaan pajak di Bali. Kesejahteraan subyek-subyek pariwisata pun menjadi hal yang harus diperhatikan baik secara regulasi maupun implementasi.
Salah satu pengusaha hiburan di Bali yang juga Bendahara Umum HIPMI Bali, Agung Bagus Pratiksa Linggih atau akrab disapa Ajus Linggih menyampaikan bahwa penetapan angka PBJT yang fantastis ini harus disertai dengan fasilitas dan pelayanan pariwisata “kelas 1”. Kendati demikian implementasi hospitality tourism di Indonesia khususnya Bali belum seoptimal itu jika harus disertai pajak yang mencapai 40% tersebut.
“Pemerintah harus membuktikan bahwa pelayanan dan fasilitas pariwisata Bali itu nomor satu di dunia, baru bisa menjustifikasi pajak yg nilainya tertinggi di dunia. Yang ada malah Daya saing kita terhadap tourism destination lain berkurang karena kita memberlakukan harga tinggi tanpa fasilitas memadai”, jelas Ajus dikutip pada Minggu (14/1/2023).
Ajus menyinggung bahwa kompetitor pariwisata dari Bali adalah Thailand yang dimana Thailand justru menurunkan pajak pariwisatanya hingga 5%. Sedangkan di Bali, PBJT dinaikkan. Menurutnya, hal ini dinilai memberatkan terlebih wisatawan juga harus menyiapkan dana terkait rencana Pemda Bali untuk memungut pajak sampah
Baca Juga
“Pesaing utama Bali itu Thailand yang malah ngurangin pajak hiburan sampai 5% karena Thailand sadar pariwisata di negaranya menjadi penopang pajak yang tinggi. Saya rasa kebijakan ini bukanlah alternatif yang tepat. Harusnya ada pelonggaran pajak dan peningkatan government spending. Ini malah lagi resesi malah peningkatan pajak dan pengurangan government spending 15%. UMKM khususnya di bali akan jadi korbannya. Belum lagi wisatawan akan dikenai pungutan untuk pengelolaan sampah nantinya”, ujar Ajus Linggih.
Bagi Ajus, ditengah kondisi Bali yang baru pulih pasca pandemi, menaikkan PBJT menjadi 40% ini hanya akan mencoreng citra Bali sebagai surga pariwisata dan akan ‘merawat’ ketidakmerataan ekonomi di Bali. Mengingat okupansi hotel di Bali Utara tidak sampai 50%.
“Bali ini sedang recovery, kebijakan ini justru berdampak buruk. Terlebih citra kita yang baru saja tercoreng karena kemacetan tahun baru kemarin. Masyarakat sudah susah makin susah. Korban pertama itu ya menengah kebawah khususnya UMKM. Satu hal yang harus digaris bawahi, Bali ini bukan overloaded tourist. Hotel - hotel di Bali Utara hanya terisi 50%. Dengan adanya undang-undang ini, pemerataan ekonomi justru terhambat karena yang diuntungkan hanya Badung dan Gianyar. Wisatawan akan malas mengeksplor karena biaya yang tinggi alhasil ketimpangan pendapatan daerah akan semakin parah”. Kata Ajus.