Bisnis.com, DENPASAR—Bagi Tari Angela, ada tiga hal yang memberinya pertimbangan sebelum memilih gawai pintar terbaru. Pertama, keberadaan dummy gawai pintar untuk merasakan layanan lebih nyata. Kedua, jaminan keaslian dari produk. Ketiga, lokasi pembelian dekat dengan rumahnya. Bagi wanita kelahiran 1980-an ini, pembelian secara daring tidak memberinya jaminan perihal kualitas. Demikian juga hasil review dari pemengaruh bukan jaminan baginya menjatuhkan pilihan.
“Karena itu saya selalu mencari toko yang punya dummy lengkap supaya bisa mencoba langsung. Buat saya kualitas dan kenyataan dari layanan lebih penting,” tuturnya lewat keterangan tertulis akhir pekan lalu.
Kebutuhan itulah yang kemudian membuat wanita seperti Tari mengalihkan pilihan kepada gerai ritel seperti Erafone. Apalagi kini, gerainya tersebar di sejumlah daerah dan tidak harus berukuran besar layaknya megastore. Menurutnya, gerai milik Erajaya Group tersebut memberinya panduan dalam memilih produk dengan jaminan terbaik. Kualitas menjadi pertimbangan utama bagi Tari. Gawai pintar yang dibelinya bukan sekedar untuk gaya atau sekedar kekinian, melainkan untuk memandu masa depannya.
Gawai tersebut, dia membuat video untuk kemudian dijadikan konten di media sosial miliknya. Remaja asal Kabupaten Tabanan ini memiliki aku media sosial Instagram dan Tiktok yang berisikan konten tentang tempat kuliner dan UMKM di Bali. Dari media sosial tersebut, Tari mendapatkan keuntungan dari sebagai endorsement dari tempat kuliner.
“Makanya sewaktu membeli, saya lihat dan cek tiruan gawai pintar yang dipajang di Erafone. Tidak cukup hanya lihat review,” jelasnya.
Tari hanya satu dari sekian generasi milenial di Bali yang berkontribusi dari sektor industri kreatif. Bermodalkan gawai pintar, generasi ini menghidupkan industri kreatif pulau berjuluk seribu pura. Generasi seusianya di daerah ini sangat besar. Sensus penduduk 2020 mencatat penduduk Provinsi Bali pada bulan September 2020 sebanyak 4,32 juta jiwa. Komposisi populasinya, sebanyak 23,2 persen merupakan milenial (kelahiran 1981-1996), sedangkan generasi Z (kelahiran 1997-2012) sebanyak 26,1 persen, dan post generasi Z mencapai 9,51 persen (kelahiran 2013 -sekarang). Adapun generasi generasi X (kelahiran 1965-1980) 24,5 persen dan Baby Boomer (kelahiran 1946-1964) hanya 9,51 persen.
Baca Juga
Dominasi inilah yang coba dilirik oleh Erajaya Group. Sejak awal 2023, perusahaan ini membidik pertumbuhan ekonomi di Bali. Gerai-gerai mini milik Erafone kini menyebar di seantero kota Denpasar, Badung, hingga Kota Singaraja di Kabupaten Buleleng. Keberadaanya memudahkan generasi seperti Tari mengakses kepemilikan gawai pintar secara presisi sesuai kebutuhan.
Head of Corporate Communications Erajaya Group Djunadi Satrio menegaskan Bali memiliki potensi positif, karena target pertumbuhan ekonomi daerah yang diproyeksikan berkisar antara 4,5-5,3 persen pada akhir 2023. Hingga saat ini, Erajaya Group telah memiliki sebanyak 44 gerai dari berbagai merek ritel di Pulau Bali, untuk melayani kebutuhan dari warga setempat maupun wisatawan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 22 gerai merupakan Erafone yang tersebar di Kabupaten Badung, Kota Denpasar hingga Kabupaten Buleleng. Pengamatan Bisnis, gerai yang dibuka oleh Erajaya bervariasi ,dan sebagian besar berukuran kecil.
Menurut Djunadi, pilihan membuka gerai berukuran mini tersebut murni untuk mendekatkan dengan konsumen. Saat ini, gawai pintar telah menjadi kebutuhan yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Karena pertimbangan inilah, pihaknya membidik pasar lebih beragam mulai dari generasi milenial atau anak muda hingga keluarga yang modern dan dinamis. Melalui jaringan ritel yang tersebar, pihaknya ingin pelanggan setia untuk makin mudah dan dekat dalam mendapatkan gadget dengan pelayanan yang konsisten, harga resmi dan terlindungi oleh garansi. Dengan demikian, mereka bisa berbelanja di gerai yang terdekat atau bisa memilih layanan omnichannel ketika dibutuhkan.
“Kami juga memiliki program yang memungkinkan pelanggan untuk berganti gawai pintar setiap tahun secara mudah dan nyaman,” jelasnya dikutip dari keterangan tertulis.
Padu padan antara tingginya jumlah generasi milenial dan penetrasi internet, dan jangkauan dari gerai mini menjadikan penetrasi kepemilikan gawai di daerah seluas 5 ribu km persegi ini meningkat setiap tahun. Dari dari BPS Bali persentase penduduk yang memiliki atau menguasai telepon seluler di Pulau Dewata pada 2022 mencapai 72,82 persen. Angka ini meningkat signifikan dibandingkan persentase kepemilikan pada 2018 sebanyak 67,99 persen. Dari jumlah tersebut, persentase kepemilikan di desa meningkat dari 2018 sebesar 56,40 persen melonjak menjadi 64,19 persen.
Menurut Tari, keterjangkauan dengan maraknya gerai ritel mini membantu mendapatkan gawai dan berbagai aksesoris lebih cepat. Tidak harus menunggu pengiriman menggunakan kurir. Dia mengungkapkan kemudahan akses tersebut berdampak bagi pekerja kreatif seperti dirinya sekaligus penetrasi digitalisasi di daerah destinasi wisata ini. Karena, kini gawai pintar menjadi identitas pribadi.
“Karena semua untuk transaksi, pekerjaan dan banyak hal. Makanya pembukaan yang kecil-kecil ini sangat membantu saya kalau butuh alat untuk konten,” jelasnya.
Bisnis mencatat kepemilikan gawai pintar telah membantu perekonomian Bali, karena meningkatkan akses pasar, serta memberikan kontribusi terhadap efisiensi bisnis. Gawai pintar juga membantu adaptasi teknologi UMKM di regional ini. Dibuktikan dengan adanya peningkatan penggunaan transaksi digital menggunakan QRIS. Saat ini sudah ada sekitar 612.000 merchant QRIS di Bali.
Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati menekankan, digitalisasi merupakan salah satu program prioritas Pemprov Bali. Jaringan sudah disediakan berupa pembangunan jaringan fiber optic dan penyediaan Wifi gratis di s1.493 desa adat, puskesmas dan sejumlah objek wisata. Ketika infrastruktur sudah siap, akan menjadi percuma apabila masyarakat tidak memiliki gawai pintar untuk mengaksesnya. Karena itu mereka membutuhkan gerai ritel mini yang mudah dijangkau.
Pengamat manajemen dari Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas University) Gede Crisna Wijaya menilai ekspansi Erajaya Group wajar karena Indonesia berada di posisi keenam pengguna gawai pintar terbanyak, mencapai 73 juta pengguna. Hal tersebut membuat banyak perusahaan yang bergerak di bidang elektronik berlomba-lomba dalam memenangkan persaingan di pasar.
Dia menilai selain sisi positif, salah satu perusahaan ini juga harus mewaspadai fenomena omnichannel dipadukan dengan ekspansi ritel untuk di masa depan. Menurutnya, metode horizontal sales yaitu memperoleh penambahan penjualan dengan menambah konsumen baru, cabang/outlet baru, dan menambah area baru yang berdampak pada naiknya penjualan dan juga model bisnis ini akan menguntungkan bila semakin banyak orang yang ikut bermitra.
“Namun perlu diwaspadai bahwa strategi ini dapat menjadi pedang bermata dua, satu sisi strategi ini memiliki dampak yang baik bagi kesadaran merek dan citra bisnis sendiri, akan tetapi disisi lain strategi ini juga dapat menghancurkan perusahaan itu sendiri,” tegasnya.
Permasalahan dapat timbul dalam hal persaingan, tidak hanya dengan para pesaing, tetapi persaingan juga dapat timbul diantara sesama gerai lainnya. Strategi tersebut dapat menimbulkan banyaknya masalah, seperti banyaknya gerai di beberapa lokasi yang saling berdekatan sehingga akan berlomba-lomba mendapatkan konsumen di gerai yang satu dengan gerai lainnya sehingga dapat menimbulkan dampak baru lagi yaitu, efek kanibalisme. Hal inilah yang harus diwaspadai oleh manajemen. Karena itu dirinya menilai Erafone harus perlu terus berinovasi dan mencoba strategi vertical sales agar dapat bertahan dalam persaingan bisnis.