Bisnis.com, DENPASAR—Keberhasilan petani di Kabupaten Jembrana mengembangan fermentasi kakao berkelanjutan akan diadopsi oleh petani di enam kabupaten di Provinsi Sulawesi, NTT dan Bali.
Perwakilan petani di enam kabupaten tersebut menilai fermentasi kakao berkelanjutan dapat menjadi solusi meningkatkan pendapatan mereka. Pertimbangan lainnya, ceruk pasar produsen cokelat premium yang membutuhkan fermentasi kakao berkelanjutan dalam jumlah besar masih ada.
Keenam kabupaten itu meliputi Tabanan, Poso, Luwu Utara, Kolaka Timur, Ende, dan Sikka. Untuk mengadopsi program yang telah diaplikasikan oleh Jembrana, konsorsium sebagai pelaksana, yakni Rainforest Alliance, Valrhona, Yayasan Kalimajari, Rikolto, serta Dinas Pertanian dan Pangan Jembrana akan memfasilitasinya dalam program bernama Transforming the Cocoa Sector in Indonesia through Value Addition for Smallholders (Traction).
“Ini semoga menjadi starting poin yang baik untuk memajukan kakao di Indonesia dan memberi masukan ke pemerintah untuk menaikkan citra serta mutu kakao Tanah Air,” tutur Project Manager Traction Hasrun Hafid saat ditemui di lokakarya Konsolidasi Nasional untuk Fermentasi Biji Kakao, di Jembrana, Kamis (7/4/2022).
Menurutnya, program ini akan dijalankan hingga 2025 dengan melibatkan sebanyak 3.400 petani kecil di enam kabupaten. Tujuan utamanya untuk menciptakan rantai nilai yang berkelanjutan, transparan, serta efisien biji kakao fermentasi berkualitas tinggi. Ditargetkan pada akhir program, setidaknya pendapatan petani kakao meningkat 60 persen dari penghasilan saat ini, produksi biji basah kakao naik 10 persen serta perbaikan mutu kakao fermentasi melonjak hingga 90 persen.
Selama beberapa tahun mendatang, petani akan didampingi dalam pelatihan meningkatkan keahlian, kemampuan manajerial, pengetahuan dasar yang ada tentang pemrosesan pasca panen kakao, pertanian tanggap terhadap perubahan iklim (Climate Smart Agriculture). Pendampingan juga diberikan terkait pengetahuan tentang kakao sebagai bisnis, tentang praktik sirkular ekonomi, bisnis masyarakat, kesetaraan gender, keterlibatan anak muda, dan pengenalan standar pertanian berkelanjutan.
Harapannya, kata Hasrun, produk yang dihasilkan petani kakao memiliki kualitas tinggi serta berkorelasi positif terhadap meningkatnya pendapatan. Berdasarkan sensus yang pernah dilakukannya pada 2011, Hasrun menceritakan bahwa produksi kakao di tingkat petani kecil hanya 300 kg per Ha per tahun. Dengan harga rata-rata kakao non fermentasi hanya Rp30.000 per kg, maka pendapatan petani per tahun senilai Rp9 juta.
Selama ini, petani kakao di Indonesia hanya menghasilkan kakao jenis asalan yang lebih mudah dijual ke pembeli karena tidak membutuhkan peningkatan mutu paska panen. Selain itu, produsen kakao di Tanah Air lebih senang menyerap jenis asalan. Dari total kebutuhan kakao di Indonesia, diperkirakan permintaan kakao asalan mencapai 99 persen, sedangkan kakao fermentasi hanya 1 persen. Indonesia jauh tertinggal dari Vietnam yang produksi kakao fermentasinya menyumbang sekitar 13 persen produksi tahunan. Hal ini yang membuat petani di Indonesia enggan memproses hasil kakao menjadi kakao fermentasi.
“Karena tidak memiliki nilai tawar makanya kami mendorong agar petani mulai membidik fermentasi,” jelasnya.
Ditambahkan oleh Country Director Rainforrest Alliance Putra Agung, ada peluang besar bagi tujuh kabupaten termasuk Jembrana untuk meningkatkan produksi kakao fermentasi. Saat ini, salah satu pabrik cokelat premium asal Prancis, Valrhona menyatakan siap menyerap dalam jumlah besar. Bahkan perusahaan ini berencana membuka pabrik di Bali. Dia mencontohkan, di Bali saat kebutuhan kakao fermentasi 23 pabrik cokelat di daerah ini mencapai 200 ton pertahun. Adapun pasokan yang tersedia sekitar 70 ton per tahun.
Peluang lainnya adalah, kebutuhan dari pabrikan cokelat besar untuk menyerap kakao origin atau yang memiliki cita rasa khusus. Dengan mengajak 6 kabupaten lain diharapkan akan tercipta kakao fermentasi origin sesuai cita rasa khas daerahnya masing-masing.
“Peluang besar karena kebutuhan flavour.Tantangan utamanya adalah permodalan petani serta harga harus kuat serta dukungan dari berbagai pihak,” jelasnya.
Manajer Cocoa Valrhona Julien Desmedt menekankan kebutuhan pengembangan kakao saat ini tidak sebatas hanya volume produksi. Diperlukan pula adanya konsep pengembangan berkelanjutan dalam proses awal hingga menghasilkan kakao berkualitas. Tujuannya agar perusahaan mendapatkan jaminan kualitas serta metode pengembangan yang telah dilakukan.
Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Jembrana I Wayan Sutama menceritakan kesuksesan petani di daerahnya tidak terlepas dari kolaborasi antara petani, koperasi, Yayasan Kalimajari hingga pemerintah daerah dan swasta. Menurutnya, meskipun luasan lahan perkebunan kakao di daerah ujung barat Pulau Bali ini kecil, tetapi petani di daerahnya lebih memilih meningkatkan kualitas. Akan tetapi untuk mendapatkan hasil tersebut juga tidak bisa dicapai dalam waktu satu tahun melainkan bertahun-tahun dan konsisten. Inilah yang membuat harga nilai ekonomis komoditas kakao di daerahnya menjadi sangat tinggi.