Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ni Ketut Arini, Maestro Tari Bali Favorit Wisatawan Jepang

Dengan tari Candra Metu dia bisa ke Jepang untuk menampilkan tradisi Bali dan berhasil memiliki ratusan murid di sana.
Maestro Tari Ni Ketut Arini (76) menunjukkan foto tarian Candra Metu dalam sesi Konferensi Pers Malam Apresiasi untuk Maestro Tari Ni Ketut Arini, Selasa (21/1/2020). Tarian Candra Metu akan dibawakan Sang Maestro pada malam apresiasi 25 Januari mendatang. Ketut Arini mengaku tarian Candra Metu banyak diminati wisatawan Jepang. Hingga kini dia memiliki 60 murid asal Jepang/Bisnis-Busrah Ardans
Maestro Tari Ni Ketut Arini (76) menunjukkan foto tarian Candra Metu dalam sesi Konferensi Pers Malam Apresiasi untuk Maestro Tari Ni Ketut Arini, Selasa (21/1/2020). Tarian Candra Metu akan dibawakan Sang Maestro pada malam apresiasi 25 Januari mendatang. Ketut Arini mengaku tarian Candra Metu banyak diminati wisatawan Jepang. Hingga kini dia memiliki 60 murid asal Jepang/Bisnis-Busrah Ardans

Bisnis.com, DENPASAR--Sosok Maestro Tari Ketut Arini membuat wisatawan asal Jepang jatuh hati dengan Tari Candra Metu yang sudah dilakoninya puluhan tahun.

Dengan tari Candra Metu dia bisa ke Jepang untuk menampilkan tradisi Bali dan berhasil memiliki ratusan murid di sana.

Dia menjelaskan wisatawan Jepang justru yang banyak mempelajarinya dan hingga kini dia memiliki 60 murid di sana dan ratusan murid dari murid-muridnya di Jepang.

"Dia tahunya ini tari baru, padahal sudah lama. Karena mereka baru mengetahui, akhirnya mereka melihatnya dan suka.

Saya kemudian dipanggil ke Jepang untuk mengajar di sana. Katanya ibu ke sini (Jepang) terus dia kumpulkan temannya dan sama-sama latihan," katanya, di sela-sela konferensi pers kegiatan Malam Apresiasi Untuk Maestro Tari, Ni Ketut Ariani, Selasa (21/1/2020).

Sewaktu mengajar di Jepang, dia menceritakan, para muridnya heran bagaimana bisa menari selama 6 jam, padahal dia sendiri tidak merasa lelah karena ketika semangat mengajar kadang lupa waktu.

Bahkan jika para wisatawan Jepang ke Ubud, dirinya pasti diminta mempertunjukkan tari Candra Metu. 

"Murid saya di sana ada 60 orang yang juga jadi guru di sana dan astungkara mereka juga sudah punya murid di sana," ujarnya.

Hingga kini wanita paruh baya berusia 76 tahun ini masih aktif mengajar di rumahnya. Di Bali dia memiliki murid sekitar 100 orang yang tiap Minggu berlatih di rumahnya.

"Tari Candra Metu di tahun 1935 sudah diciptakan oleh Nyoman Kaler mengisahkan tentang bulan terbit.

Awalnya saya buat 10 dasar gerak dulu sebelum masuk ke tarian. Mereka menari dengan iringan gamelan. Kalau ada yang mau belajar saya siap waktunya, mau malam juga bisa.

Memang anak-anak kan sibuk sekolah jadi waktunya tidak cukup tapi kapan saja waktu saya siap. Pokoknya jangan berhenti menari," imbuhnya.

Dia mengakui minat remaja terhadap tarian Candra Metu berkurang karena kesulitan dan kurang populer. Apalagi banyaknya tarian yang banyak tambahan dan akulturasinya. 

Pada usia 76 tahun, Arini mengaku sejak 10 tahun dirinya sudah menari, hingga sekarang.

Dia juga bersyukur karena pada 25 Januari mendatang digelar Malam Apresiasi Untuk Maestro Tari Ni Ketut Ariani.

Harapannya agar tari Candra Metu ini dilihat lagi oleh orang karena ini Tarian yang Puspawarna, Bayan nginti, itu yang hampir hilang. 

Bentuk apresiasinya kata Yan Palapa sebagai Penggagas menuturkan, apresiasi terhadap Sang Maestro lahir dalam karya buku foto bertajuk 'Candra Metu; Ni Ketut Arini' yang memuat sejumlah 50 lebih karya foto Ni Ketut Arini menarikan tarian Candra Metu.

Yan Palapa berupaya memberikan apresiasinya terhadap beliau melalui karya fotografinya, apalagi tari itu sudah jarang dimainkan dan perlahan mulai memudar eksistensinya.

''Berhubung sosok legendaris seperti beliau di Denpasar masih berkesempatan dan yang kuat menari tersisa beliau, jadi ini waktu yang tepat untuk mengabadikan beliau dalam bentuk buku foto,'' katanya.

Menurut dia, buku foto ini dibuat lebih sebagai bentuk reminder atau pengingat bahwa segala sesuatu memiliki akar, termasuk tarian.

Harus ada sebuah bentuk untuk mendokumentasikan sejarah tradisi.

Uniknya, rata-rata karya fotogtafi Yan Palapa memiliki ciri khas yang digolongkannya dalam istilah 'blurism'.

Jika rata-rata foto panggung lain terpaku untuk menangkap foto still, tidak bagi Yan Palapa yang lebih memilih menangkap gerak.

''Keseluruhan foto sifatnya abstrak karena konsep saya memang menangkap gerak. Secara filosofis, tidak ada semua di dunia ini yang diam (still) bahkan batu sekalipun,'' terangnya.

Itulah yang ditangkap Yan yakni spirit (energi) lewat geraknya, bukan dari foto still (diam).

Bentuk apresiasi-apresiasi serupa tidak hanya berhenti disini saja, namun juga akan berlanjut pada sosok-sosok inspiratif lainnya.

Dengan demikian, terpenting adalah semua ini untuk meningkatkan kesadaran akan tradisi yang semakin meluntur dan menjadi lambang bahwa pelestarian warisan budaya Bali itu penting.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Busrah Ardans
Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper