Bisnis.com, DENPASAR--African Swine Fever(ASF) atau lebih dikenal dengan Virus Flu Babi Afrika saat ini tengah mengancam ekonomi peternakan babi di Bali sekaligus bisa mengancam kelestarian budaya Bali.
Meski belum masuk ke Bali, pemerintah melalui Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan sudah mewaspadai kehadiran virus yang berbahaya bagi babi-babi di Bali.
Bahkan melalui koordinasi dengan pihak Bandara, telah dilakukan pemusnahan sisa-sisa makanan berbahan baku daging babi yang dibawa wisatawan asing maupun domestik. Apalagi bagi negara yang terjangkit virus ASF ini, perlakuannya sudah dibakar dan tidak lagi dibuang ke TPA.
"Jumlah babi di Bali diperkirakan mencapai 810.000 ekor, jika 490.000 saja yang terjangkit virus, dengan asumsi harga Rp 2 juta/Ekor maka kurang lebih Rp 800 miliar kerugian ekonominya, kerugian sistemik juga karena berdampak pada budaya makan daging babi guling misalnya. Jadi beternak bukan saja jadi mata pencaharian tapi melestarikan budaya," kata I Wayan Mardiana, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, di Ruang Rapat Kantor Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Jumat (27/12/2019), siang.
Sejak Desember awal pihaknya telah menginstruksikan dan mendeklarasi untuk melarang semua produk daging babi dari luar negeri. Terutama beberapa negara yang terinfeksi seperti Tiongkok.
Hal itu dikarenakan banyaknya peternak babi di Bali yang menggunakan sisa makanan sebagai pakan ternak babi mereka.
"Misalnya ada pengusaha yang mau masukan bahan makan anjing tapi saya tidak izinkan. Karena bahan baku makanan anjing itu salah satunya dari ternak babi. Wisatawan Tiongkok juga kita waspadai karena mereka kecenderungan membawa bahan makanan dari daging babi apalagi sudah ada 25 juta babi yang mati di Tiongkok. Begitu pun di Sumatera Utara yang saat ini sudah ada 5.000 ekor yang mati karena virus ini," jelas Mardiana didamping Plt Dinas Pariwisata Putu Astawa.
Begitu pula kata dia, pemusnahan di kapal-kapal dari perjalanan laut, sudah diinsinerator sehingga tidak sampai ke daratan.
Timnya sudah berkoordinasi dengan pihak karantina selaku Border di pintu awal pelabuhan, baik bandara maupun laut, apabila ditemukan bahan pangan berasal dari babi maka sudah pasti akan dimusnahkan.
"Saya sudah mengeluarkan instruksi lewat Sekda. Memang kendala bagi peternak itu karena costnya. Jika membeli pakan jadi itu harganya Rp 7.000/Kg sementara jika menggunakan sisa makanan itu mereka hanya membeli Rp 3.000/Kg. Namun, bisa dibayangkan jika virus tersebut menjangkiti babi-babi di Bali kan?," jelasnya sembari melempar tanya.
Mardiana dan tim juga telah memetakan 25 titik risiko sangat tinggi teehadap penularan terhadap virus ASF di Bali.
"Kurang lebih ada jumlah peternak babi di Bali ada 309 dengan jumlah populasi mencapai 890.000 ekor babi. Tim kami sudah buat Satgas kewaspadaan dini yang melibatkan Karantina, provinsi dan stakeholder lainnya," ujarnya.
Plt Dinas Pariwisata Putu Astawa mengatakan biosekuriti juga dilakukan oleh pemerintah Australia untuk mewaspadai virus tersebut masuk ke negeranya melalui daerah di Indonesia.
"Kita menyadari Australia kan memiliki peternakan yang besar jadi tentu mereka memiliki standar sekuriti termasuk di Indonesia. Kan kalau masuk Patogen ke sana tentu rugi mereka," kata Astawa.
Sementara jumlah wisatawan ke Bali saat ini masih terbilang stabil dan malah menunjukkan tren peningkatan.
Dia mengungkapkan hal itu tidak terlalu mempengaruhi pariwisata dan kunjungan wisatawan.
"Pemenuhan daging babi di Bali relatif aman apalagi kami sudah swasembada. Apalagi dengan populasi 810.000 ekor sampai saat ini Bali juga surplus 400 ton pertahun," ungkap Astawa yang juga menjabat sebagai Kadis Perindustrian dan Perdagangan ini.
Bali sendiri merupakan salah satu penyumbatan daging babi terbesar keempat selain Sumatera, NTT, dan Sulawesi Utara.