Bisnis.com, BANTUL—Penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa Bidang Teater yang diberikan kepada I Gusti Ngurah Putu Wijaya oleh Institut Seni Indonesia Yogyakarta diharapkan bisa menginspirasi para civitas akademika perguruan tinggi seni ternama itu.
"Semoga dengan gelar baru itu terus menginspirasi para civitas akademika ISI Yogyakarta, generasi muda, pelaku seni dan masyarakat pada umumnya untuk merawat seni tradisi," kata Dekan Fakultas Seni Pertunjukkan ISI Yogyakarta Prof Dr. Yudiaryani di ISI Yogyakarta, Rabu (21/2/2018).
Dia yang juga promotor Penganugerahan Gelar Doctor Honoris Causa Bidang Teater kepada Putu Wijaya di hadapan Sidang Senat Terbuka ISI Yogyakarta Rabu (21/2), selain merawat seni tradisi, gelar itu diharap dapat menginspirasi untuk mengembangkan dan melindungi karya anak bangsa serta mengapresiasinya dengan baik.
Menurut Prof Yudiaryani, di bidang seni modern di Indonesia, Putu Wijaya adalah fenomena dan kehadirannya menjadi kontribusi nyata bagi kreativitas dan produktivitas luar biasa seniman yang memilih sastra dan teater sebagai pilihan hidup.
"Pengaruhnya cukup dominan terhadap sastrawan maupun dramawan sesudahnya. Dengan satu keunikan yang semakin jelas, yaitu Putu Wijaya berhasil membawa gaya baru penulisan baik naskah drama maupun karya fiksi di Indonesia," katanya.
Menurut dia, produktivitas Putu Wijaya terus memuncak sampai masa tuanya, bahkan sampai umurnya ke-74 saat ini, meski Putu menjalani proses penyembuhan dari sakitnya, tetap saja karyanya mengalir deras, bahkan bertambah dengan kanvas lukisnya.
"Selama sakit fisiknya itu rupanya dia tidak mau sakit otak dan batinnya, dan masih terus berkarya. Dan masih akan membuat ratusan drama pendek, bahkan sudah bermonolog lagi. Semangatnya untuk berkarya di bidang kesenian memang luar biasa," katanya.
Yudiaryani mengatakan, Putu Wijaya adalah legenda tradisi yang selalu bertransformasi menjadi baru. Dan dalam pidato ilmiahnya 'TRADISI BARU', Putu menjabarkan ruang-ruang pembebasan pada nilai tradisi kedaerahannya.
"Putu mempertimbangkan sungguh-sungguh ketika tradisi dibenturkan dengan hal-hal yang baru, dan iapun pantang menyerah ketika tradisi pun harus ditandingkan dengan dunia modern," katanya.
Menurut dia, seni tradisi dengan sifatnya yang cair, plastis, dan dinamis, telah terdidik dalam ruang dan waktu panjang, sehingga bagi Putu nilai-nilai tradisi menjadi 'jurus' ampuh menemukan jati diri seni tradisi di tengah 'wajah ke-Indonesiaan yang mengglobal.
"Tradisi baru adalah transformasi nilai-nilai budaya kedaerahan menjadi tatanan nilai budaya negara-kebangsaan," katanya.
Menurut dia, bagi Jurusan Teater Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta, sosok Putu Wijaya atau yang akrab disebut Mas Putu bukanlah sosok asing, sebab pernah menjadi tenaga pengajar luar biasa (TPLB) Jurusan Teater dari 2004 hingga 2007.
Putu Wijaya dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada 11 April 1944, pada masa remaja sudah menunjukkan kegemarannya pada dunia sastra. Setelah selesai sekolah menengah atas, Putu melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta, kota seni dan budaya.
Di Yogyakarta, selain kuliah dan lulus di Fakultas Hukum UGM, Putu juga mempelajari seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), drama di Akademi Seni Drama dan Film (ASDRAFI) dan meningkatkan kegiatan bersastra, dari kegiatan berkesenian Putu mendapatkan identitasnya sebagai seniman.