Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Habis Tuna Terbitlah Cumi-Cumi

Pasca terbitnya aturan larangan alih muat di tengah laut atau transipment dan moratorium eks kapal asing, pelaku usaha di Benoa ini merana.
Ikan tuna/Antara-Ampelsa
Ikan tuna/Antara-Ampelsa

Bisnis.com, DENPASAR— Di setiap ada masalah selalu ada peluang. Kalimat ini layak disematkan kepada pengusaha ikan tuna di Pelabuhan Benoa, Denpasar yang tergabung dalam wadah Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI). Pasca terbitnya aturan larangan alih muat di tengah laut atau transipment dan moratorium eks kapal asing, pelaku usaha di Benoa ini merana.

Bagaimana tidak, hasil tangkapan dan ekspor tuna yang selama ini menjadi andalan turun drastis. Data ATLI, pada 2018, produksi hasil tangkapan hanya tersisa 5.767 ton atau turun 5,1%. Meskipun penurunannya tipis, tetapi jika dibandingkan pada masa 2014 silam, hasil tangkapan ikan tuna di Benoa dan Pelabuhan Pengambengan, Jembrana mampu mencapai 14.591 ton. Bahkan, hingga semester I-2019, hasil tangkapan ikan tuna hanya 1.877 ton.

Akibat turunnya hasil tangkapan tersebut, sudah bisa dilihat bahwa nilai ekspor ikan tuna dari Bali ikut merosot. Pada akhir 2018 lalu, nilai ekspor tuna dari Pulau Dewata hanya Rp464,43 miliar, atau turun hingga 23,75% jika dibandingkan nilai realisasi ekspor 2017 mencapai Rp609 miliar. Kondisi tersebut membuat sebagian pelaku ngos-ngosan untuk beroperasi normal.

Namun, cerita sedih itu memunculkan sebuah peluang baru. Komoditas cumi-cumi. Tidak pernah dilirik oleh Pemprov Bali, tetapi paska adanya larangan transipment dan moratorium eks kapal asing, volume dan ekspor komoditas ini justru meningkat drastis.

Kondisi itu tergambar dari data yang dimiliki oleh ATLI. Pada 2018, total tangkapan cumi-cumi mencapai 5.165 ton, melonjak hingga 38% jika dibandingkan dengan hasil tangkapan pada 2017 sebanyak 3.751 ton. Peningkatan ini menyebabkan tangkapan cumi menduduki peringkat kedua terbesar yang dihasilkan ATLI pada tahun lalu.

Padahal, pada 2014 silam, total tangkapan cumi hanya 1.844 ton. Tangkapan cumi-cumi tersebut memang masih kalah dibandingkan ikan tuna yang sebanyak 5.767 ton. Meskipun masih kalah dari tangkapan ikan tuna, tetapi secara pertumbuhan, tangkapan cumi mengalami peningkatan terbesar jika dibandingkan tuna segar dan beku.

Sekjen ATLI Bali Nyoman Sudarta mengatakan sejumlah anggotanya kini mengalihkan fokus tangkapan ke cumi-cumi dibandingkan tetap bertahan menangkap ikan tuna. Menurutnya, kebijakan ini diambil pengusaha karena sejumlah faktor, seperti larangan alih muat hingga susahnya perizinan kapal eks asing.

“Kami tidak kena larangan transipment, kemudian tidak perlu harus segar jika akan ekspor ke luar negeri. Harganya juga masih bagus,” tuturnya ditemui Bisnis, pada akhir pekan lalu.

Alhasil, kini komposisi berat kapal di pelabuhan Benoa berubah. Pada 2013, jumlah kapal longline anggota ATLI mencapai 699 unit. Paska munculnya regulasi terkait transipment dan moratorium kapal eks asing, hingga September 2019 tersisa 230 unit. Penyusutan kapal ini disebabkan keputusan pebisnis mengubah alat tangkap dari longline ke pancing cumi yang dilakukan oleh pemilik kapal dengan pertimbangan bisnis.

Pada saat ini, total kapal milik anggota ATLI paling banyak ukuran 61 GT-200 GT. Adapun sebelum adanya pelarangan transipment dan moratorium kapal eks asing, terbanyak adalah ukuran kapal kurang dari 30 GT.

“Ini karena adanya larangan transipment, jadi murni bisnis,” tuturnya.

Menurutnya, harga ekspor cumi-cumi juga menjanjikan. Ini dibuktikan dengan nilai ekspor cumi beku pada akhir 2018 mencapai Rp308,6 miliar. Jumlah ini masih kalah dibandingkan dengan ekspor tuna segar dan beku yang mencapai Rp464,4 miliar. Meski demikian, kontribusi tersebut seakan menjadi pemuas dahaga di tengah-tengah persoalan larangan alih muat dan moratorium kapal eks asing.

Sudarta menyatakan tujuan ekspor cumi terbanyak adalah negara China. Dijelaskan olehnya, jika menangkap ikan tuna memunculkan sebuah kendala dengan masih berlakunya larangan alih muat. Ikan tuna tidak bisa segar sehingga ketika dijual harganya akan lebih rendah. Berbeda dengan cumi-cumi yang tidak mengaruskan dalam kondisi segar melainkan produk beku tetap bernilai.

Diakuinya, adanya peningkatan cumi ikut menyelamatkan bisnis anggota ATLI. Apalagi, ekspor ikan tuna selain terganjal persoalan regulasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan  (KKP), juga terhadang masalah pasar Jepang yang mengenakan pajak tinggi. Pasar ekspor tuna Bali saat ini terkonsentrasi pada dua negara yaitu Jepang (43,04%) dan Amerika Serikat (49,37%).

Untuk pasar Jepang, jenis tuna didominasi oleh tuna segar sedangkan untuk pasar AS, jenis tuna yang mendominasi adalah tuna beku. Saat ini ekspor tuna ke Jepang masih menghadapi tantangan karena Jepang mengenakan tarif yang lebih tinggi terhadap komoditas tuna segar dari Indonesia (4%) dibanding tuna segar dari Thailand dan Vietnam (0%). Tarif 0% yang didapatkan Vietnam dan Thailand, karena kedua negara tersebut memiliki perjanjian bilateral (Economic Partneship Agreement) dengan Jepang.

Berdasarkan analisis revealed comparative advantage (RCA) yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia Perwakilan Bali, daerah ini  mempunyai beberapa komoditas yang memiliki daya saing dan yang memiliki permintaan dunia yang relatif tinggi, sehingga berpotensi untuk terus ditingkatkan perdagangan ekspor luar negerinya. Kepala BI Perwakilan Bali Trisno Nugroho menyebutkan komoditas tersebut adalah ikan tuna, kacang mete dan kakao.

Ikan tuna merupakan komoditas ekspor yang memiliki pasar yang sangat luas. Saat ini, kebutuhan tuna dunia dipenuhi oleh Meksiko, Tiongkok dan Thailand.  Indonesia masih berada di urutan ke 5 sebagai eksportir ikan tuna terbesar di dunia. Perdagangan ekspor tuna dapat berupa tuna segar maupun tuna beku.

“Hal ini menujukkan bahwa Bali masih memiliki peluang yang luas dalam pengembangan pasar ekspor tuna ke depan. Selain itu, adanya perang dagang yang saat ini terjadi antara Amerika Serikat dan Tiongkok juga dapat menjadi peluang peningkatan ekspor tuna Indonesia,” tuturnya.

Kendati demikian, Sudarta menegaskan persoalan tarif bukan masalah utama, tetapi tetap harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Dia berharap, pemerintah segera mencari solusi khususnya merevisi aturan transshipment karena pertimbangan potensi ekspor ikan tuna di Bali sangat besar.

"Tolonglah pemerintah mempercayai kami untuk melakukan aktivitas transshipment agar mengekspor ikan ke Jepang kembali normal. Kami mengejar premium price karena potensi Benoa itu dekat dengan bandara Ngurah Rai," jelasnya.

Kendati demikian, jika pun pemerintah tidak kunjung memberikan solusi, maka pihaknya akan berharap dari komoditas cumi-cumi yang untuk sementara mampu membantu roda bisnis. Hanya saja, meski cumi-cumi sudah menjadi solusi terkini, Pemprov Bali agaknya belum melihat potensi besarnya.

Kadis Kelautan dan Perikanan (KKP) Bali I Made Sudarsana Sariyoga  menilai peningkatan ekspor cumi masih harus ditelaah lagi. Menurutnya, saat ini fokusnya tetap bagaimana mengupayakan kiprah ATLI tetap tinggi seperti tahun-tahun sebelumnya. Dengan begitu, akan ada nilai tambah bagi daerah dari keberadaan ekspor ikan tuna dan beku.

“Kami masih terus mencari titik temu soal eksor tuna, hanya saja masalah transipment dan moratorium itu kebijakannya bukan di kami tetapi di pusat,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper