Bisnis.com, DENPASAR – Greenpeace menilai pembangunan PLTU Celukan Bawang Tahap II akan merusak pariwisata Buleleng sebab berdampak langsung pada ekosistemTaman Nasional Bali Bali Barat dan kondisi koral serta kehidupan lumba-lumba yang ada di Pantai Lovina.
Ada pun Taman Nasional Bali Barat (TNBB), lumba-lumba, dank oral merupakan potensi andalan pariwisata di Buleleng. TNBB dinilai terdampak karena terletak hanya 40-50 km dari wilayah PLTU Celukan Bawang Tahap II. Emisi dari PLTU Celukan Bawang akan mempengaruhi ekologi di TNBB dan mengancam hewan yang terancam punah dan mendiami wilayah ini. Khususnya Macan Tutul Jawa, trenggiling, dan jarak Bali yang merupakan hewan endemic di wilayah ini.
Sementara itu, Pantai Lovina terletak hanya 20-30 km dari PLTU Celukan Bawang. Tidak hanya wilayah perairan yang menjadi habitat lumba-lumba yang terdampak, namun juga daratan yang menjadi tempat aliran air menuju pantai akan sangat terpengaruh endapan merkuri.
Lauri Myllivirta, ahli polusi udara Greenpeace, mengatakan ekspansi PLTU Celukan Bawang dapat membahayakan 200.000 jiwa dari paparan polusi udara yang diatas ambang batas aman, dan 30.000 jiwa berpotensi terkena paparan akumulasi merkuri pada level yang tidak aman.
“Emisi berbahaya ini juga dapat menjadi ancaman bagi populasi lumba-lumba dan ekosistem sekitar PLTU Celukan Bawang lainnya,” katanya, Jumat (13/7/2018).
Kata dia, untuk PLTU Celukan Bawang Tahap I saja, diperkirakan akan menyebabkan 190 kematian dini dan 70 kelahiran dengan berat rendah setiap tahunnya di Bali. Kematian dini yang disebabkan oleh PLTU Celukan Bawang Tahap I dapat meningkat menjadi 290 jiwa per tahun pada 2030. Jika beroperasi selama 30 tahun, maka jumlah total kematian dini selama masa operasi PLTU tersebut adalah 7.000 jiwa.
Sementara itu, eskpansi PLTU Celukan Bawang tahap II, akan meningkatkan dampak kesehatan kumulatif selama masa operasi 30 tahun menjadi 19.000 kematian dini.
Walaupun, sebenarnya, dia mengakui bahwa hingga saat ini dampak tersebut masih merupakan perkiraan. Sebab, tidak ada data operasional yang jelas mengenai PLTU Celukan Bawang. Di negara lain, PLTU batu bara yang beroperasi bisa dilihat jumlah emisinya tiap tahun. Sementara, di Indonesia, belum ada, meskipun masing-masing pembangkit memiliki alat pengukuran emisi pada cerobong tapi tidak memberikan data pasti.
“Kalau negara lain seperti China, Uni Eropa, dan Amerika Serikat kalau ada PLTU yang sudah beroperasi kita bisa melihat jumlah emisi tiap tahun ada, tapi data di Indonesia belum ada,” katanya.
Eskpansi PLTU Celukan Bawang II yang saat ini sedang direncanakan memiliki kapasitas 2x330 Megawatt atau hampir dua kali lipat dari PLTU Celukan Bawang I dengan daya yang dihasilkan 3 x 142 Megawatt. Greenpeace menilai dengan kapasitas sebesar itu, maka PLTU itu akan menghasilkan udara lebih banyak yang merugikan masyarakat dan ekosistem di sekitarnya secara signifikan.
PLTU Celukan Bawang diproyeksikan akan mendistribusikan sekitar 15kg merkuri per tahun dan mengendap di daratan sekitar proyek. Sekitar 40% merkuri ini akan terdistribusi ke lahan hutan dan 49% ke lahan pertanian.
PLTU Celukan Bawang juga saat ini dinilai telah menghasilkan emisi NO2 dan berbagai partikel beracun lainnya dengan jumlah yang tinggi. Emisi NO2, SO2, dan debu dari PLTU Celukan Bawang secara bersamaan daoat menyebabkan hujan asam yang merusak tanaman serta membawa kandungan logam berat beracun seperti arsenic, nikel, krom, timbal, dan merkuri.