Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tarif Impor AS: Jika Trump Bidik Indonesia, Konsumen AS Harus Belanja Lebih Mahal

Pengusaha kayu di Bali menyatakan siap membebankan biaya lebih tinggi ke konsumen Amerika Serikat apabila negara tersebut mengenakan tarif impor atas produk dari Indonesia.
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump./Reuters
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump./Reuters

Bisnis.com, DENPASAR - Pengusaha kayu di Bali menyatakan siap membebankan biaya lebih tinggi ke konsumen Amerika Serikat apabila negara tersebut mengenakan tarif impor atas produk dari Indonesia.

Kebijakan itu diambil karena keputusan mengalihkan bidikan ke negara tujuan lain tidak mudah dilakukan, dan pasar AS memiliki daya beli sangat besar untuk produk unik dari Bali.

Pemilik Oliqus Bali Art Luther Teguh Margono menyakini produk ekspor kayu dari Pulau Dewata tetap akan diminati meskipun tarifnya lebih mahal.

“Tarif nanti, jika benar terjadi akan dibebankan sama end user di sana. Susah juga cari penggantinya,” jelasnya, Senin (9/7/2018).

Dia mengatakan pelaku usaha siap apabila AS menerapkan kebijakan pengenaan tarif karena meyakini negara tersebut mengetahui kelemahan Indonesia.

Di satu sisi, pemerintah Indonesia berupaya mempertahankan ekspor furniture karena menyerap tenaga kerja banyak dan mampu menciptakan nilai tambah.

Dengan pertimbangan tersebut pihaknya meyakini negara adidaya tersebut akan terus menekan pemerintah Indonesia. Namun, harus dipahami juga bahwa Indonesia memiliki peluang bernegoisasi karena negara adidaya tersebut juga memiliki kepentingan menghemat sumber daya mereka.

“Indonesia dan AS punya bargaining power yang akan sama-sama bisa ditawar dan saling menerima,” jelasnya.

Teguh menekankan peluang ekspor ke Timur Tengah sebenarnya juga besar untuk dijajaki. Negara seperti Arab Saudi saat ini memiliki pertumbuhan ekonomi menarik seiring menurunnya ketegangan di Suriah. Namun, mengalihkan bidikan ke negara tersebut tidak mudah karena butuh usaha dari pemerintah.

“Tidak mudah lho, perlu bantuan pemerintah untuk masuk ke sana,” paparnya.

Demikian juga jika membidik negara-negara di Afrika Selatan, banyak kendala untuk masuk. Tidak semua negara di kawasan itu memiliki pertumbuhan ekonomi lumayan. Ditambah lagi untuk masuk ke kawasan baru membutuhkan modal dan harus membuka kontak bisnis terlebih dulu.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Feri Kristianto
Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper