Bisnis.com, DENPASAR— Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia Bali mulai mengkhawatirkan dampak perang dagang China dan Amerika Serikat.
Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (Alfi) Bali Gusti Nyoman Rai mengatakan meskipun dampaknya belum terasa, para pengusaha berancang-ancang untuk mengantisipasi akibat perang dagang kedua negara tersebut.
“Belum, kami belum bisa memprediksi dampaknya, tetapi dalam waktu dekat kami akan menggelar pertemuan khusus untuk membahas hal ini,” katanya, Selasa (10/4/2018).
Menurut Rai ekspor dari Bali ke AS cukup tinggi, tetapi kini mulai menurun karena minimnya produk baru dan kurangnya inovasi produk. Dia khawatir dampak perang dagang akan menambah imbas terhadap ekspor dari Bali tersebut.
Kata dia asosiasi akan membahas berbagai kondisi tersebut, selain itu juga mencari solusi permasalahan yang telah menahun yakni tingginya biaya pengiriman produk ekspor dari Bali.
Pembina Alfi Bali Bagus John Sujayana mengatakan ekspor ke Amerika Serikat cukup tinggi yakni sekitar20% dari total ekspor dari Bali.
Kata dia kondisi usaha logistik dan forwarder saat ini kurang membaik, di antaranya karena faktor tingginya biaya pengiriman, kini ditambah dengan was-was dengan isu perang dagang.
Bagus mengatakan kondisi ini menjadi pelajaran berharga bagi pengusaha di daerah bahwa masih ada ketidakadilan perdagangan internasional yang membawa dampak bagi usaha mereka.
Ia berharap pemerintah dan pemangku kepentingan terkait bersinergi untuk mencari jalan keluar agar produk ekspor, terutama kerajinan dari Bali, tetap bisa bersaing di pasar internasional.
Data Badan Pusat Statistik Provinsi Bali mencatat Bali menghasilkan devisa sebesar US$94,96 juta selama Januari-Februari 2018, meningkat US$10,68 juta atau 12,67% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya US$84,28 juta.
Devisa tersebut diperoleh dari pengapalan berbagai jenis matadagangan ke pasaran luar negeri yang ditopang oleh hasil industri kecil dan kerajinan.
Sebagian besar ekspor Bali tersebut ditujukan ke pasar Amerika Serikat yang menyerap 24,50%, menyusul Jepang (8,14%), China (7,96%), Singapura (7,9%) dan Australia (5,17%).