Bisnis.com, JAKARTA—Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan telah menyiapkan dua skema pengawasan terkait rencana pengenaan bea masuk bagi barang tak berwujud atau intangible goods.
Dalam bahan kajian DJBC yang dikutip Bisnis, Selasa (6/2/2018), skema yang pertama adalah proses pengawasan melalui mekanisme sederhana. Konsep pengawasannya mencakup self declaration melalui voluntary declaration, kemudian menempatkan marketplace ke dalam daerah sebagai pemungut pembayaran.
Selain itu, skema Direct Carrier Billing yang menekankan metode pembayaran online dengan cara memotong pulsa melalui telepon genggam, serta menerapkan payment gateway di daerah kepabeanan juga menjadi pilihan untuk mengenakan bea masuk bagi intangible goods.
Sementara itu skema kedua yakni melalui mekanisme pengawasan yang lebih kompleks, pendekatan yang dilakukan oleh mekanisme ini dilakukan dengan memantau aliran data dan aliran uang. Selain itu juga dilakukan profiling dengan alamat.
Seperti diketahui, bagi otoritas kepabeanan, tantangan paling besar dalam dunia kepabeanan saat ini adalah perlakuan bagi barang tak berwujud atau intangible goods.
Meski sebenarnya dari aspek regulasi sudah diatur dalam Undang -Undang No.17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan. Namun, pemerintah belum bisa memungutnya lantaran keberadaan moratorium hingga 2017 dari World Trade Organization dalam Ministeral Conference di Nairobi, Kenya 2015 lalu.
Apalagi, di internal WTO juga tampaknya masih terdapat banyak perdebatan. Seperti yang dijelaskan dalam kajian tersebut, beberapa negara maju menginginkan supaya moratorium secara permanen. Otoritas kepabeanan menganggap langkah negara-negara maju ini akan merugikan negara berkembang.
Pasalnya, meski transaksinya belum cukup signifikan, namun Ditjen Bea dan Cukai mencatat nilai transaksi barang digital yang diimpor langsung di luar sistem streaming maupun melalui platform sosial media, nilai transaksinya tidak kurang dari Rp75 triliun.