Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perbarindo Bali Minta OJK Melonggarkan AYDA BPR

Perbarindo Bali meminta OJK merelaksasi jangka waktu penjualan aset yang diambil alih atau AYDA menjadi dua hingga tiga tahun karena pertimbangan lebih realistis.
Ilustrasi/JIBI
Ilustrasi/JIBI

Bisnis.com, DENPASAR - Perbarindo Bali meminta OJK merelaksasi jangka waktu penjualan aset yang diambil alih atau AYDA menjadi dua hingga tiga tahun karena pertimbangan lebih realistis.

Aturan yang ada saat ini hanya memberikan jangka waktu bagi BPR untuk menjual aset yang diambil dari nasabah selama setahun, dan hal itu dinilai terlalu cepat.

“Menjual aset setahun itu sulit bagi teman-teman. Menjual aset tidak bisa seperti makan cabai sekarang makan langsung merasakan pedes. Harus cari harga yang bagus pelan-pelan, agar sesuai dengan pinjaman yang diberikan,” jelas Ketua Perbarindo Bali Ketut Wiratjana, Jumat (8/12/2017).

Menurutnya, kelonggaran waktu penjualan AYDA akan membantu BPR mendapatkan kembali dana yang dipinjam sesuai dengan nilai awal.

Dengan jangka waktu dua hingga tiga tahun, Wiratjana mengakui ada waktu bagi pelaku BPR untuk menjual aset yang mereka sita dari nasabah.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa usulan tersebut telah resmi disampaikan ke OJK pusat. Diakuinya, usulan itu muncul karena kesulitan yang dialami pelaku BPR ketika mengambil alih aset dan secara khusus di Bali terjadi erupsi Gunung Agung yang mempengaruhi kinerja.

Berdasarkan data OJK Regional 8 Bali Nusra, indikator keuangan BPR di Bali pada akhir triwulan III/2017 menunjukkan perlambatan cukup signifikan. Ada risiko AYDA naik 34,71% menjadi Rp208,2 miliar pada triwulan III/2017.

Adapun agunan yang jatuh tempo Rp83,3 miliar, dan yang akan jatuh tempo pada 2018 senilai Rp127,1 miliar.

Rasio NPL juga meningkat dari 5,75% menjadi 7,82%. Kontribusi terbesar NPL tersebut berasal dari sektor ekonomi perdagangan, kontruksi dan bukan lapangan usaha lainnya. Risiko NPL naik signifikan, berada di atas NPL nasional yang hanya 7%.

Sementara itu, total aset BPR hingga September 2017 tercatat senilai Rp13,8 triliun, tumbuh sebesar 8,87% dibandingkan dengan periode sama tahun lalu. Angka pertumbuhan itu jauh melambat dibandingkan periode sebelumnya yang tumbuh sebesar 18,87%.

Dana pihak ketiga (DPK) yang dibukukan senilai Rp9,2 triliun, hanya naik sebesar 16,31%, lebih rendah dari periode sebelumnya yang tumbuh sebesar 22,54%. Porsi DPK didominasi oleh dana mahal yaitu deposito sebesar 73% dengan nominal Rp6,7 triliun, sedangkan tabungan tumbuh 27% dengan nominal senilai Rp2,4 triliun.

Adapun kredit yang disalurkan tercatat Rp9,5 triliun, atau tumbuh hanya 8,73% atau Rp762 miliar, lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yang tumbuh sebesar 9,73%.

Komposisi kredit didominasi oleh kredit produktif sebesar 63,3% (Rp6 triliun), terdiri dari kredit modal kerja 48,65% (Rp4,6 triliun) dan kredit investasi 14,6% (Rp1,4 triliun).

Kepala OJK Regional 8 Bali Nusra Hizbullah mengakui agunan yang banyak disita bank saat ini berupa bangunan dan properti. Dulu harga properti sangat bagus karena nilainya besar dan mudah untuk menjualnya.

Hanya saja penjualan properti sedang lesu, sehingga berdampak terhadap bank untuk menjual aset-aset sitaan tersebut. Dia mengatakan relaksasi AYDA berada di tangan OJK pusat.

Pihaknya hanya bisa mendorong usulan yang disampaikan Perbarindo Bali kepada pusat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Feri Kristianto

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper