Bisnis.com, DENPASAR – Masyarakat Bali menganggap meletusnya Gunung Agung sebagai peristiwa suci sehingga diyakini akan kuat menghadapi bencana ini.
Kepala Hanacaraka Society Lembaga Pelestari dan Riset Lontar Bali Sugi Lanus mengatakan dalam beberapa catatan lontar Bali berumur 150 tahun, dijelaskan bahwa setidaknya ada 15 peristiwa mengenai bencana Gunung Agung yang dimulai dari tahun 1002 masehi.
Dari sekian peristiwa yang terjadi, budaya masyarakat Bali buktinya tetap berkembang dan tidak berhenti menujukkan kekagumannya pada gunung ini.
Kata dia, walau bencana gunung ini mampu merusak kehidupan masyarakat namun hingga kini masyarakat Bali masih memuja Gunung Agung dan menyebutkan peristiwa meletusnya gunung ini sebagai peristiwa suci.
“Apapun yang terjadi di pulau ini dari abad 11 sampai abad 20 orang bali tetap melanjutkan tradisinya itu, sehingga dapat dikatakan ada daya tahan kultural yang sangat kuat sekali di mana hingga saat ini masyarakat Bali tetap memuja Gunung Agung,” sebutnya, Senin (2/10/2017).
Dia mengharapkan, dari apa yang dilakukan masyarakat Bali dahulu, masyarakat milenial sekarang juga tidak gentar dalam menghadapi bencana Gunung Agung sebab pada periwistiwa-peristiwa sebelumnya terbukti terlampaui.
Kata dia, lontar-lontar yang mengisahkan peristiwa meletusnya Gunung Agung supaya bisa menjadi bahan refleksi masyarakat Bali. “Masyarakat Bali dulu mampu melampauinya dengan kuat walau kehidupannya sangat sederhana,” katanya” sebutnya.
Dia menyebutkan, perspekftif tradisional masyarakat Bali melihat peristiwa meletusnya Gunung Agung sebagai waktunya Ida Bhatara atau tuhan menurut Hindu Bali turun ke pemukiman masyarakat.
Masyarakat Bali bahkan masih percaya bahwa peristiwa ini wajib disambut, sehingga banyak yang membunyikan gambelan atau musicktradisional Bali ketika peristiwa ini terjadi. “1 desa tidak mau pindah bahkan katanya merek membawakan gong, dan menganggap kematian itu bukan kematian keliru tapi karena bhakti,” sebutnya.
Walau sudah tidak relevan dengan masa kini, namun, Sugi menyebutkan masih ada masyarakat yang meyakini pemikiran itu. “Peristiwa ini oleh masyarakat Bali disebut sebagai waktunya melakukan refleksi diri utuk memulai sesuatu yang baru dan kembali ke jalan yang diharapkan,” katanya.