Bisnis.com, DENPASAR — Di sudut sebuah bangunan semi permanen berukuran 7x7 meter persegi, tumpukan karung berwarna putih memenuhi ruangan. Tinggi tumpukan tersebut mencapai 2 meter. Di balik tumpukan, Wayan Sukadana sibuk menghadapi satu karung penuh berisikan sampah plastik bekas.
“Ini semua harus dipilah-pilah. Biasanya akan datang banyak kalau akhir pekan,” ujarnya saat ditemui Bisnis pada Selasa (28/12/2021).
Bangunan tersebut merupakan Gudang Pemilahan Sampah milik Griya Luhu (Rumah Sampah) yang berada di Kelurahan Beng, Kabupaten Gianyar. Lokasinya bisa ditempuh sekitar 1 jam dari daerah wisata seperti Kuta dan Nusa Dua. Sukadana merupakan salah satu pemilah sampah yang bertugas menyortir kemasan plastik bekas hasil pembelian dari nasabah. Gudang yang mampu menampung hingga 20 ton sampah plastik itu merupakan lokasi pemilahan dan titik kumpul sampah plastik yang akan dijual kepada pengepul.
Selain Sukadana, juga terdapat Ni Wayan Sariasih yang bertugas membersihkan plastik kemasan minuman bekas. Duduk dikelilingi tumpukan karung putih berisikan botol plastik bekas, tangannya memegang pisau untuk memotong bekas tutup botol serta logo kemasan. Kemasan minuman bekas yang telah dibersihkan oleh Sariasih akan dikumpulkan dalam karung putih berkapasitas 25 kilogram dan siap dijual kembali.
Sampah-sampah yang dipilah di Gudang Griya Luhu berasal dari bank-bank sampah di seluruh wilayah Kabupaten Gianyar dan sekitarnya. Bank sampah tersebut merupakan hasil kerja sama Griya Luhu dengan desa atau kelurahan di Bali. Sebulan sekali, bank sampah di lingkungan banjar akan membeli sampah dari nasabah yang telah bergabung di Griya Luhu. Nasabah itu merupakan warga di lingkungan masing-masing banjar yang sudah mendirikan bank sampah.
Sampah plastik yang dibawa masyarakat ke bank sampah setiap bulan, akan ditimbang dan dihargai sesuai harga yang tertera di aplikasi Griya Luhu Apps. Sampah yang dibeli dibagi dalam dua jenis, yaitu plastik lembaran, plastik bening, sachet dan sablon serta jenis botol meliputi pet warna, pet biru dan pet bening.
Begitu ditimbang petugas bank sampah, masyarakat akan diberi tahu saldo yang telah dimiliki. Mereka bisa juga mengecek di aplikasi. Saldo tersebut akan dijadikan sebagai tabungan. Kapan pun dibutuhkan bisa diambil. Sebagian besar, dana yang diperoleh dikumpulkan oleh masyarakat dan akan diambil ketika mendekati Hari Raya Galungan atau ketika ada upacara keagamaan.
Sistem bank sampah digital inilah membuat banyak pengurus desa hingga lembaga swadaya masyarakat bahkan perusahaan swasta tertarik bergabung. Seperti yang dilakukan oleh Banjar Kelod Kangin Kelurahan Beng.
Ni Wayan Sariasih memilah sampah botol plastik bekas. /Feri Kristianto-Bisnis.com.
Kepala Lingkungan Banjar Kelod Kangin I Kadek Ariana mengungkapkan sebelum ada bank sampah, warganya banyak yang membakar sampah atau membuang ke tempat pembuangan sampah (TPS) terdekat. Kebiasan sudah turun temurun itu susah dihilangkan.
Sejak ada bank sampah, perilaku itu semakin berkurang. Saat ini dari total 200 KK di lingkungannya, sebanyak 75 KK memutuskan bergabung menjadi nasabah Griya Luhu. Kadek Ariana mencatat sebanyak 1.352,6 kilogram sampah plastik telah diselamat dengan dijual ke lembaga tersebut. Total saldo yang telah dikumpulkan seluruh warga Kelod Kangin mencapai Rp2,18 juta.
“Memang belum semua warga gabung dan tidak mudah. Untuk pemilahan itu sulit lah. Sulit karena kebiasan. Saya di rumah sendiri menekankan ke keluarga tapi tidak bisa 100 persen. Kendalanya cenderung di sampah dapur. Di dapur kan ada sampah plastik tergabung minyak tidak enak bawa ke bank sampah,” ujarnya.
Menurutnya, ada kemajuan besar yang telah diciptakan oleh ekosistem milik Griya Luhu. Pertama, masyarakat semakin paham nilai ekonomis sampah plastik serta mulai paham proses memilah sampah organik dan anorganik. Kedua, berkurangnya masyarakat berperilaku membakar sampah di pekarangan rumah.
Melesat Karena Digitalisasi
Keberadaan unit bank sampah seperti yang diceritakan oleh Kadek Ariana menyebabkan pemilah seperti Sukadana maupun Sariasih harus berjibaku cepat-cepat memilah dan menyortir. Hal itu terjadi karena kurang dari 2 tahun sudah berdiri 424 unit bank sampah yang tersebar lebih dari 100 desa dan kelurahan di Kabupaten Gianyar, Badung, Tabanan, Buleleng, Bangli, Karangasem dan Kota Denpasar. Jumlahnya yang semakin banyak diantisipasi dengan menambah gudang di Tabanan dan Karangasem.
Founder Griya Luhu Ida Bagus Mandhara Brasika mengakui sejak pertengahan 2020, jumlah unit bank sampahnya meningkat drastis. Padahal, pada awal 2020 ketika Covid-19 menghantam Pulau Bali, lembaga ini nyaris gulung tikar. Penyebabnya, adalah berlakunya larangan berkumpul sehingga aktivitas pengumpulan sampah plastik di bank sampah tidak jalan.
Menurutnya, sejak didirikan pada akhir 2017 silam hingga akhir 2019, jumlah bank sampah stagnan hanya 3 unit. Ketiga bank sampah itupun terpaksa ditutup.
Baca Juga : Pengelolaan Sampah di Bali Perlu Kolaborasi |
---|
Pada Maret 2020, Gus Nara berencana melanjutkan perjuangan dengan membuka gudang sampah di sebuah desa. Hanya saja rencana itu gagal terwujud karena terganjal izin dari desa setempat. Situasi tersebut membuat aktivitas bank sampah kembali tidak bisa berjalan. Kondisi itu menimbulkan kerugian ditambah oleh berkurangnya sejumlah relawan.
“Saya terus berpikir bagaimana bisa bantu masyarakat. Akhirnya masih ada sisa dana untuk coba buat aplikasi dan berhasil. Pandemi ini membuat kami bisa tersenyum,” tutur pria kelahiran Beng, Kabupaten Gianyar ini.
Aplikasi Griya Luhu Apps diluncurkan pada Juni 2020 di Playstore. Aplikasi ini dilengkapi dengan fitur-fitur sederhana seperti saldo tabungan, data nasabah, serta katalog sampah serta harga. Sengaja dibuat sederhana untuk mempermudah penggunanya.
Digitalisasi di era pandemi diakuinya sangat membantu membangkitkan optimisme kembali. Sekarang ini, perputaran uang di setiap Gudang mencapai Rp20 juta per bulan. Bahkan, sampah digital Griya Luhu ikut berkontribusi dalam meningkatkan literasi keuangan. Berkat aplikasi, setiap nasabah Griya Luhu sekaligus bisa membuka rekening.
Griya Luhu telah menggandeng BNI, BPD Bali dan BPR Gianyar untuk merealisasikan. Selama ini banyak dari nasabahnya tidak memiliki rekening. Jumlahnya diperkirakan 70 persen dari total nasabah. Ke depannya, aplikasi tersebut akan dikembangkan agar dapat membantu pemda mengatasi kebocoran retribusi sampah.
Berjuang Demi Desa
Pria yang akrab dipanggil Gus Nara ini menjelaskan bahwa Griya Luhu didirikan dengan semangat komunitas. Saat awal berdiri hanya digawangi oleh sekitar 10 orang lokal yang sebagian besar merupakan teman sekolahnya. Ide awal muncul usai dirinya pulang dari mendapatkan gelar Master Teknologi Lingkungan di Imperial College London, Inggris.
“Saya merasa sampah tidak dikelola profesional. Kebanyakan pasti sektor informal seperti pemulung lah. Saya background climate change. Jadi saya tahu kontribusi sampah besar terhadap perubahan iklim,” jelas suami dari Made Yaya Sawitri tersebut.
Kegelisahaan pria kelahiran 23 Juni 1992 semakin bertambah melihat banyak orang mengklaim dan menjual isu sampah di destinasi wisata dunia ini hanya untuk sekedar mendapatkan popularitas dan pendanaan dari luar negeri.
Dia merasa bahwa isu-isu sampah yang digaungan hanya menyentuh daerah-daerah pariwisata seperti Kuta, Sanur, Ubud dan Nusa Dua. Daerah-daerah di luar kawasan wisata seperti diabaikan. Bahkan di kelurahannya yang masih dekat dengan Ubud, jangankan memilah, untuk untuk membuang sampah masih kesulitan.
Berkaca dari situasi tersebut, menurutnya memberdayakan masyarakat lokal adalah kunci utama dalam memecahkan persoalan sampah. Pemberdayaan itu bisa dimulai dari desa, karena seringkali desa dikucilkan terkait penanganan sampah. Dosen di Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana ini mengangkat isu penanganan sampah karena tidak ditangani secara baik.
Founder Griya Luhu Ida Bagus Mandhara Brasika. /Feri Kristianto-Bisnis.com
Dia menegaskan penanganan sampah di hulu merupakan solusi termudah buat daerah berpenduduk sekitar 4,2 juta jiwa ini. Dia memperkirakan, sampah yang dihasilkan oleh 9 kabupaten dan kota di provinsi seluas 5.780 kilometer persegi ini mencapai 4.200 ton per hari.
Selama ini, semuanya dibuang di tempat pembuangan akhir (TPA). Akibatnya TPA tidak mampu dan kelebihan kapasitas. Seharusnya 70 persen dari total sampah harian itu dapat dimanfaatkan kembali.
Padahal, dari total sampah harian di Pulau Dewata ini sebesar 60 persen atau 2.500 ton berupa sampah organik. Apabila ditangani dengan baik dari hulu, diperkirakan hanya akan tersisa 500 ton saja sampah organik yang terbuang. Jumlah sampah terbuang itu lebih masuk akal untuk mengisi daya tampung TPA per hari. Keadaan inilah yang membuatnya semakin terdorong mendirikan Griya Luhu.
“Awalnya sejak akhir 2017 silam dan cuma komunitas. Sekitar 10 orang, kebanyakan orang lokal dan teman sekolah, dan tidak berjalan terlalu bagus,” ungkapnya.
Saat awal berdiri, Gus Nara memutuskan membiayai menggunakan uang pribadinya. Setiap bulan dia menyisihkan sekitar Rp1 juta-Rp2 juta dari gajinya sebagai PNS golongan III-B. Untuk menutupi kekurangan, pihaknya mengikutkan program yang dibuat dalam kompetisi grant.
“Sudah ada kalau lima grant kami peroleh. Makanya sekarang bisa merekrut 13 orang pekerja tetap untuk menangani operasional,” jelasnya.
Kendati demikian, Griya Luhu masih terus memimpikan memiliki sumber pendanaan tersendiri. Salah satu cara yang kini mulai digagas adalah adalah membangun sumber. Misalnya, membuat produk refill. Harapannya masyarakat tidak lagi membeli kemasan melainkan isi dari produk yang bisa diisi ulang seperti sampo atau pun minyak goreng. Ide itu masih dalam wujud rancangan. Selain itu, ide itu sebenarnya bertentangan dengan semangat semakin banyak membeli sampah plastik. Gus Nara menegaskan justru akan senang jika sampah plastik berkurang meskipun profit menipis.
Cita-cita Bangkrut
Dia beralasan prinsip keberlangsungan lebih penting dibandingkan dengan bisnis. Toh selama ini Griya Luhu juga berprinsip membeli semua jenis plastik meskipun tidak semua memiliki nilai ekonomis. Pasalnya, jika sampah plastik seperti sachet dan tas kresek tidak dibeli, diperkirakan sekitar 20 persennya akan kembali ke lingkungan dan berakhir di laut. Artinya lingkungan akan kembali tercemar, karena pemulung pun tidak berkenan membeli sampah plastik jenis tersebut.
“Saya percaya alam akan bantu. Berapa kali anak-anak bertanya, apakah boleh tidak ambil kresek dan kaca pecah-pecah. Saya jawab tidak! Karena kalau itu dilakukan, kami kehilangan identitas sama seperti pemulung. Ada hal besar yang kami mau tuju,” jelasnya.
Menurutnya, cita-cita besar itu adalah Griya Luhu bangkrut. Bukan karena salah pengelolaan tapi karena pengelolaan sampah sudah berjalan secara baik dan tidak membutuhkan lagi lembaga seperti Griya Luhu. Artinya semua orang di Bali sudah tahu jalur pemilahan sampah dan sudah rapi. Gus Nara berujar orang Bali percaya sistem circular yaitu, reinkarnasi.
Baca Juga : Grup Astra Klaim Telah Kurangi 420 Ton Sampah |
---|
Dia mengatakan ketika di Inggris dirinya belajar mengenai bahwa semua harus dari nol. Dengan dasar itulah Griya Luhu tidak akan ditujukan mengejar angka demi angka. Justru kebenaran itu adalah jika semua dimulai dari nol.
“Saya selalu bilang ke teman-teman, akan memastikan isi perut mereka tapi tujuan utamanya bukan uang. Kalau uang itu unlimited. Tidak akan berakhir. Jadi golnya adalah nol,” jelasnya.
Penggerak sosial yang baru saja dinobatkan sebagai salah penerima apresiasi Satu Indonesia Awards (SIA) bidang teknologi dari Bali oleh PT Astra International Tbk ini merasa tujuan akhir masih jauh. Penghargaan itu diberikan karena keberadaan bank sampah digital berbasis aplikasi telah memberi manfaat kepada 17.000 nasabah di 5 kabupaten kota di seluruh Bali.
Menurutnya, apa yang sudah diraih oleh Griya Luhu sekarang bukan merupakan tujuan akhir. Akhir dari perjalanan dan kesuksesan adalah ketika masyarakat Bali sudah tidak membutuhkan wadah bentukannya.
Gus Nara mengatakan saat ini dirinya ingin mendorong timnya di Griya Luhu terutama wanita untuk tampil dan terlibat lebih banyak dalam penanganan sampah di Pulau Dewata. Saat ini dari 13 orang tim Griya Luhu, 7 orang diantaranya adalah wanita. Gus Nara menegaskan mereka tidak hanya berada di posisi sebagai bagian administrasi, melainkan pengambil keputusan. Tujuannya agar organisasi tidak hanya bergantung dengan satu sosok semata.
“Masalah sampah ini terlalu besar penyelesaiannya kalau kami masih tetap menggunakan ego patriarki. Tidak bisa hanya mengandalkan satu figure saja,” jelas pria yang akan berangkat mengambil S3 di Inggris ini pada 2022.