Bisnis.com, DENPASAR--Jumlah dana yang menganggur alias tidak disalurkan dalam bentuk kredit di perbankan Bali semakin besar pada triwulan III/2018.
Alasan kehati-hatian karena khawatir ancaman kredit bermasalah atau NPL, dan juga dampak perang tarif diperkirakan menjadi dalih bagi bank untuk menahan ekspansi penyaluran dana.
Direktur Pengawasan LJK OJK Regional 8 Bali Nusra Rochman Pamungkas mengungkapkan besarnya dana idle itu tercermin dari rendahnya tingkat rasio penyaluran kredit (LDR/loan to deposit ratio) sebesar 80,09%.
Baca Juga
Angka ini turun jika dibandingkan dengan periode sama tahun lalu 84,03%.
LDR merupakan rasio yang mengukur kemampuan bank dalam memenuhi penyaluran kredit. Berdasarkan PBI No.17/11/2015 LDR yang diganti menjadi LFR, batas bawahnya ditetapkan 78% sedangkan batas atas 92%.
Adapun total kredit yang disalurkan perbankan di Bali pada triwulan ketiga senilai Rp84,2 triliun, tumbuh tipis 1,9% jika dibandingkan dengan realisasi periode sama tahun lalu Rp81,37 triliun.
Tingkat pertumbuhan kredit itu timpang jika dibandingkan dengan jumlah DPK di perbankan Bali selama periode triwulan III/2018 yang tumbuh sebesar 9,46% atau mencapai Rp105,2 triliun. Rochman menyatakan kondisi tersebut karena situasi eksternal yang membuat bank harus berhati-hati.
"Kondisi ini tidak hanya terjadi di Bali, di daerah lain juga sama situasinya. Bank memilih menahan," jelasnya Selasa (12/12/2018).
Menurutnya, ketimpangan kredit dan DPK yang membuat dana menganggur di bank besar didasari oleh beberapa fakta. Pertama, rasio kredit bermasalah atau NPL masih tinggi. OJK Bali mencatat tingkat NPL pada akhir September 2018 ebesar 3,78%. Angka itu menunjukkan pergerakan naik dar periode sebelumnya 3,78%.
Kedua, kondisi eksternal perbankan yang memaksa bank maupun pelaku usaha menahan diri. Dia mencontohkan beberapa kreditur di bank ada yang memilih tidak menghabiskan plafon kredit meskipun masih tersisa. Artinya, kata Rochman, permintaan penyaluran dana dari masyarakat juga turun.
Dia mengaku mendapatkan informasi bahwa pelaku juga menahan ekspansi karena tahun depan akan diadakan pemilihan presiden. Diperkirakan setelah pesta demokrasi pada 2019 selesai, penyaluran kredit akan kembali digenjot.
"Banyak pelaku menahan ekspansi karena kita tahu tahun depan pilpres dan mereka menunggu kebijakan presiden terpilih," jelasnya.
Selain itu, dampak perang dagang mempengaruhi permintaan ekspor pelaku usaha di Bali. Berbagai faktor itu membuat bank kemudian memilih melakukan konsolidasi internal. Hal inilah yang kemudian mendorong perbankan tidak gencar menyalurkan dana.
Rochman menekankan regulator tidak bisa memaksa bank untuk gencar karena di sisi lain prinsip kehati-hatian juga tetap harus diutamakan. Regulator hanya dapat mengimbau perbankan tetap menyalurkan dan sesuai fungsi intermediasi dengan melakukan mitigasi.