Bisnis.com, DENPASAR – Sekitar 200 mantan karyawan jaringan ritel lokal di Bali, Hardys, kembali mendatangi Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Bali terkait sengketa pesangon yang belum terbayarkan hingga saat ini.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Bali Ni Luh Made Wiratmi mengatakan sejak pemberhentian yang dilakukan setahun lalu, karyawan Hardys belum juga mendapatkan pesangon. Dari 700 tenaga kerja Hardys yang diberhentikan, hanya 200 yang memutuskan untuk tetap memperjuangkan haknya tersebut.
Menurutnya, hingga saat ini, Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Bali terus mengupayakan adanya mediasi antara kedua belah pihak, yakni mantan pekerja dengan PT Arta Sedana Retailindo selaku manajemen Hardys.
“Kita hanya mampu melakukan mediasi untuk menghasilkan kesepakatan dan perjanjian bersama, tetapi jika belum menemukan titik temu aka nada langkah selanjutnya yang dapat mereka ambil,” katanya, Jumat (18/1/2019).
Bardasarkan pantauan Bisnis, permasalahan pesangon ini terjadi berawal dari akusisi Hardys oleh PT Arta Sedana Retailindo.
Adapun mantan karyawan Hardys meminta hak-hak mereka berupa uang pengganti sisa cuti hingga pesangon yang belum dibayarkan sejak mereka pertama kali bekerja. Rata-rata karyawan yang menuntut hak tersebut bekerja selama satu hingga 17 tahun lamanya.
Namun, PT Arta Sedana Retailindo tidak sanggup membayar pesangon karyawan sejak manajemen masih dibawah naungan PT Hardys Retailindo. Pesangon dan hak lainnya yang mampu dibayarkan hanya sejak perusahaan tersebut diambil alih oleh PT Arta Sedana Retailindo.
Hardys Group yang dipimpin I Gede Agus Hardiawan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Surabaya pada 9 November 2017.
Total kewajiban atau hutang yang harus dibayar mencapai Rp2,3 triliun dengan nilai kepemilikan asetnya ditaksir Rp4,1 triliun. Salah satu anak usahanya, yakni Hardys Retailindo telah lebih dulu diambil alih oleh Bank Mualat dan kemudian dijual kepada PT Artha Sedana Retailindo.
Di bawah manajemen PT Artha Sedana Retailindo, penutupan outlet kemudian terjadi yang menjadikan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada karyawan yang terjadi pada awal tahun 2018.
Wiratmi mengatakan, sejak permasalahan tersebut menyeruak, pihaknya sebenarnya sudah melakukan antisipasi jika seandainya terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Namun, dari sisi pekerja mengatakan telah memiliki kuasa hukum untuk mengatasi hal tersebut.
Pengaduan baru kemudian terjadi pada awal 2019, ketika para mantan karyawan tersebut tidak kunjung mendapatkan haknya.
“Nah yang menuntut memang sekitar 200 orang, mungkin sisanya karena urusan telah diselesaikan antar dua belah pihak dengan manajemen di sana,” katanya.